visitaaponce.com

Penyadapan Oleh Jaksa tak Boleh Langgar HAM

Penyadapan Oleh Jaksa tak Boleh Langgar HAM
Ilustrasi penyadapan(dok.medcom)

PERLUASAN kewenangan jaksa untuk melakukan penyadapan dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru tidak boleh melanggar hak asasi manusia (HAM). Jaksa juga harus berpedoman pada aturan yang berlaku saat menyadap seseorang.

"Yang terpenting tidak melanggar HAM dan dilakukan sesuai prosedur yang berlaku," tegas pakar hukum pidana Universitas Al-Azhar Indonesia Suparji Ahmad, kepada Media Indonesia, Rabu (8/12).

Sebelumnya Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita LH Simanjuntak menjelaskan kewenangan menyadap yang lebih luas tidak terlepas dari fungsi jaksa sebagai bagian intelijen penegakan hukum. Hal tersebut telah diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.

"Maka kewenangan penyadapan mutlak diperlukan. Sebab tidak mungkin fungsi ini bisa berjalan dengan baik tanpa kewenangan tersebut," kata Barita.

Ia menjelaskan besarnya kewenangan jaksa dalam UU baru akan sejalan dan seimbang dengan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan. Menurutnya, regulasi baru tersebut telah mensyaratkan secara ketat pengawasan penyadapan.

"Melalui adanya izin pengadilan atau hakim secara teknis dan pengawasan oleh internal kejaksaan maupun oleh Komisi Kejaksaan sesuai tugas dan kewenangannya," jelasnya.

Pelaksanaan fungsi dan kewenangan jaksa lebih lanjut nantinya akan diatur melalui berbagai peraturan seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Jaksa Agung, Pedoman dan strandar operasional prosedur. Menurut Barita, hal itu diperlukan agar tugas-tugas jaksa terimplementasi dengan baik, terukur, dan akuntabel.

Baca Juga: Revisi UU Kejaksaan Disahkan, Kewenangan Penyadapan Diperluas

Dengan UU Kejaksaan yang baru, penyadapan yang dilakukan oleh jaksa kini tidak terbatas dalam tahap penyidikan saja, melainkan juga pada tahap penuntutan, eksekusi, dan pencarian buronan.

Menanggapi hal itu, Suparji menjelaskan UU Kejaksaan baru akan melegitimasi semangat restoratif keadilan yang selalu digaungkan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Sebagai pengendali, jaksa akan semakin jelas dalam melakukan mediasi dan menentukan kelanjutan sebuah perkara.

"Dengan demikian, melalui undang-undang ini, restorative justice dapat lebih nyata hasilnya seperti akhirnya kasus Valencya, itu tidak terulang lagi," tandas Suparji.

Melalui keterangan tertulis, Burhanuddin menyebut telah terjadi perubahan paradigma hukum pidana di Indonesia, dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif. UU Kejaksaan yang baru dinilai telah memberikan Kejaksaan peran untuk mengedepankan keadilan restoratif sebagai perwujudan diskresi penuntutan.

"Saya tidak menghendaki para jaksa melakukan penuntutan asal-asalan, tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan tidak ada dalam text book, tetapi ada dalam hati nurani," kata Jaksa Agung, Selasa (7/12). (OL-13)

Baca Juga: HMI Nilai Yahya Cholil Staquf Mampu Kembalikan Kejayaan NU

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat