visitaaponce.com

Pengangkatan Penjabat Kepala Daerahdari ASN Sangat Riskan Dilakukan

Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dari ASN Sangat Riskan Dilakukan
Prof Djohermansyah Djohan, di webinar tentang Mencermati Akibat Wacana Pengangkatan ASN mengisi Mengisi Kekosongan Kepala Daerah 2022-2024.(Ist)

PENGANGKATAN penjabat (PJ) kepala daerah,(gubernur, wali kota, dan bupati) dari pejabat struktural ASN setingkat eselon 1 untuk propinsi atau eselon 2 untuk kabupaten/kota, lumrah dilakukan dalam praktek pemerintahan selama ini.

Khususnya bila terjadi kekosongan akibat kepala daerah yang bersangkutan berhalangan tetap (meninggal /sakit permanen) atau berhalangan sementara karena cuti kampanye

Hal itu terungkap webinar tentang Mencermati Akibat Wacana Pengangkatan ASN (Aparatur Sipil Negara) Mengisi Kekosongan Kepala Daerah 2022-2024 yang diselenggarakan Institut Otonomi Daerah (i-OTDA).

Kegiatan webinatr dilaksanakan di Kopi Bangsa area Pusjarah TNI - Museum Satria Mandala, Jl jend. Gatot Subroto, Jakarta pada Kamis (10/2).

“Cuti sementara biasanya, dua bulan, tiga atau empat bulan, hanya dalam bilangan bulan saja. Dengan demikian PJ itu hanya menjadi caretaker pengisi kekosongan jabatan yang ditinggalkan sementara,” papar Prof Djohermansyah Djohan, pendiri i-OTDA.

Munculnya caretaker dalam pemerintahan, menurut Djohermansyah, berfungsi sebagai penjaga agar tugas tugas pemerintahan sehari hari  tidak berhenti, gara-gara tidak ada pemimpin.

"No vacuum of power adalah azas yang menjadi landasannya, dimana tidak boleh ada kekosongan satu detikpun kekuasaaan pemerintahan," jelasnya.   

"Saat ini ada situasi yang tidak lazim, di mana akan ada  pengangkatan penjabat kepala daerah dari ASN dengan waktu yang cukup lama. Berapa lama? Bisa satu tahun, dua tahun bahkan hampir tiga tahun," kata Djohermansyah.

Kondisi ini yang sangat mengkhawatirkan karena ada peristiwa politik ke depan pada tahun 2024 terkait pemilu legaislatif, pilpres dan pilkada serentak nasional.  

Kekosongan kepala pemerintahan daerah akan dimulai pada waktu dekat ini 12 Mei 2022. Kekosongan kepala pemerintahan daerah meliputi 272  gubernur,walikota hingga bupati di Indonesia.

Total Jumlah Penduduk di 25 daerah provinsi yang kosong KDH-nya mencapai  243.992.959 (90% jumlah penduduk).

Salah satu kepala daerah yang akan selesai masa jabatannya ditanggal 12 Mei 2022 adalah Gubernur propinsi Banten misalnya, dimana setelah itu Banten tak lagi bisa melakukan pilkada hingga 27  Nopember 2024 sesuai ketetapan pemerintah lewat UU Pilkada No 10/2016.

Selain Banten, Aceh dan Papua Barat juga mengalami kekosongan kepala daerah karena habis masa jabatannya. Khusus Papua Barat misalnya, adalah daerah konflik.

Menurut Djohermansyah, kepala daerah sementara yang akan menjabat tentu harus benar benar memahami berbagai hal, bukan hanya masalah program kerja pemerintahan daerahnya saja.

"Dibutuhkan orang yang benar benar mengetahui masalah penanganan konflik dan kearifan lokal harus benar benar dipahami baik," katanya.

“Karena apa? Akan menambah masalah baru, bila pada daerah daerah rawan konflik ditempatkan orang yang tidak tepat dalam memegang pemerintahan disana tentunya,” jelas Djohermansyah.

Menurut Djohermansyah, bisa jadi pembuat undang undang No 10/ 2016, tentang pilkada tidak mengantisipasi dan mengkaji dengan cermat keadaan keadaan ini, ditambah kurangnya awareness pemerintah dalam menyikapi persoalan ini.

Pakar pemerintahan daerah yang tergabung dalam i-OTDA mendalami secara cermat apa apa saja akibat yang akan ditimbulkan kedepan, bila kekosongan jabatan kepala daerah pada 2022 -2024 diisi dari ASN.

Permasalahan yang akan muncul bila kepala daerah yang habis di bulan Mei 2022 hingga 2024 bila jabatan kepala daerah diserahkan pada ASN bisa jadi mereka tidak fokus memimpin wilayah yang hilang kepemimpinan definitifnya 

“Ketidak fokusan itu bisa terjadi, bila jabatan tersebut diserahkan pada ASN. Kenapa begitu ? Karena ASN memiliki kewenangan terbatas disamping ASN tidak boleh melepas jabatan strukturalnya di ASN,” ujar Djohermansyah. 

Persoalan lain yang akan dihadapi Pj kepala daerah dari ASN, yaitu bila terlalu lama tentu mereka akan menangani APBD, di mana ASN harus berhadapan dengan para politisi daerah di DPRD untuk pembahasan anggaran.

Hal ini tentu akan menjadi kendala besar dimana ASN tidak di training untuk urusan politik praktis.

Kekhawatiran lain, menurut Djohermansyah, dalam proses pengangkatan penjabat penjabat kepala daerah tersebut, bisa jadi muncul kolusi, suap yang dibiayai pihak pihak tertentu yang memiliki kepentingan atas daerah tersebut agar semua kepentingan pemodal dapat berjalan lancar.

"Karena waktu yang terlalu lama menjabat bisa jadi  membuat Pj tergoda menyelewengkan kekuasaan, korup dan sebagainya," katanya.

"Belum lagi penanganan masalah pandemi yang tak rundung usai, ini juga menjadi sebuah persoalan cukup pelik dalam penyelesaian masalah di lapangan," ucap Djohermansyah,

"Karena apa? Karena Pj  menjabat di dua kaki, di daerah dan struktural ASN, yang bisa menjadi kendala yang cukup serius,  disamping bisa jadi mereka belum tentu mampu menangani kasus tersebut dengan pengalaman dilapangan yang kurang sebagai satgas covid. Kelemahan lain, para Pj hanya sendiri menjabat tanpa wakil," paparnya.

Senentara itu, Peneliti Utama BRIN Prof Siti Zuhro menambahkan civil society perlu melakukan pengawasan secara bersama karena segala kebijakan akan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.

"Jangan sampai muncul resistensi-resistensi dari daerah seperti Aceh dan Papua. Jadi, jangan pula ada pembiaran aspirasi dari daerah," kata Zuhro. (RO/OL-09)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat