visitaaponce.com

Pengadilan HAM Berat Perisitwa Paniai Dinilai Sekadar Formalitas

Pengadilan HAM Berat Perisitwa Paniai Dinilai Sekadar Formalitas
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Tioria Pretty(MI/USMAN ISKANDAR)

RANGKAIAN persiapan sidang dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada Peristiwa Paniai menunjukkan penyelesaian perkara yang sekadar formalitas. Puncaknya, delapan hakim ad hoc pengadilan HAM yang telah terpilih dinilai minim kompetensi oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Selama proses seleksi wawancara 33 calon hakim ad hoc HAM, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Tioria Pretty Stephanie menyebut pihaknya memberi nilai merah terhadap 31 calon. Sedangkan dua calon hakim masing-masing diberi nilai hijau (Siti Noor Laila) dan kuning (Florentia Switi Andari).

Penilaiain tersebut tak terlepas dari rendahnya kualitas pengetahuan para calon hakim ad hoc HAM mengenai hukum acara dan unsur pelanggaran HAM berat serta konsep rantai komando. Kontras memberikan penilaian saat seleksi wawancara berlangsung pada Rabu (20/7) dan Kamis (21/7) lalu.

Untungnya, Panitia Seleksi Calon Hakim Ad Hoc untuk Pengadilan HAM 2022 yang diketuai Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro meloloskan Siti dan Florentia. Siti selaku mantan Komisioner Komnas HAM akan bertugas sebagai hakim ad hoc di pengadilan tingkat pertama. Adapun Florentia yang berlatar belakang advokat akan mengadili perkara HAM berat di tingkat banding.

Baca juga: Ade Armando akan Jadi Saksi di Sidang Pengeroyokan Dirinya

"Salah satu alasan minimnya calon hakim yang kompeten, selain daripada waktu pencarian yang tergesa-gesa, adalah tahap penyidikan serta prapenuntutan yang hanya menetapkan satu tersangka," kata Pretty kepada Media Indonesia, Selasa (26/7).

Diketahui, MA baru membuka rekrutmen hakim ad hoc HAM pada Selasa (21/6) lalu, enam hari setelah Kejaksaan Agung melimpahkan tersangka dan barang bukti perkara Paniai ke Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan.

Penyidik Direktorat HAM Berat Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) sendiri menetapkan Mayor Inf (Purn) Isak Sattu selaku mantan Perwira Penghubung (Pabung) Komando Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai sebagai tersangka tunggal.

Menurut Pretty, penetapan tersangka tunggal itu telah menunjukkan kesan pengadilan HAM yang sekedar formalitas dan memberikan citra bahwa pemerintah telah menyidangkan satu kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua.

"Tanpa berniat sungguh-sungguh memberikan keadilan bagi para korban, keluarga korban, dan masyarakat. Impresi demikian akhirnya juga membuat enggan orang-orang yang kompeten untuk mendaftar," tandasnya. (OL-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat