visitaaponce.com

Diduga Alami Penyakit Kejiwaan, Sambo Disebut tak Bisa Manfaatkan Pasal 44 KUHP

Diduga Alami Penyakit Kejiwaan, Sambo Disebut tak Bisa Manfaatkan Pasal 44 KUHP
Tersangka Irjen Ferdy Sambo (kiri)(ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha)

TERSANGKA pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, Irjen Ferdy Sambo, disebut mengalami penyakit kejiwaan. Meski ada dugaan itu, namun Sambo tak serta merta bisa memanfaatkan Pasal 44 KUHP.

Pasal tersebut berbunyi orang yang melakukan suatu perbuatan sedangkan pada saat melakukan perbuatan orang tersebut menderita sakit berubah akalnya atau gila. Maka perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepadanya dan orang tersebut tidak dapat dihukum.

"Masalah kejiwaan pada diri FS, mungkin saja. Tapi, bukan masalah kejiwaan yang membuat FS bisa memanfaatkan "layanan" Pasal 44 KUHP," kata ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, Jumat (16/9).

Reza mengatakan masalah kejiwaan pada Ferdy Sambo bukan gila melainkan psikopati (gangguan kepribadian antisosial) seperti kata Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Maka, ucap Reza, tepatnya Ferdy Sambo disebut sebagai kriminal dengan klasifikasi sangat berbahaya.

"Dia sebagai psikopat, memiliki kepribadian machiavellinisme yang diistilahkan sebagai dark triad: manipulatif, pengeksploitasi, dan penuh tipu muslihat," ungkap Reza.

Menurut Reza, kriminal-kriminal seperti itu sepatutnya dimasukkan ke penjara dengan level keamanan supermaksimum. Petugas penjaga diminta bukan dari staf biasa.

"Harus staf yang juga cerdas, berintegritas, dan punya jam terbang tinggi "melayani" napi ber-dark triad," tuturnya.

Baca juga: Kejagung Teliti Kembali Berkas Perkara Ferdy Sambo

Di samping itu, dia memandang pernyataan Komnas HAM bisa kontraproduktif. Reza mengatakan riset mutakhir menunjukkan psikopati bukan berakar sebatas pada dimensi perilaku ataupun kepribadian, tapi pada adanya bagian otak yang memang berbeda dari orang-orang nonpsikopat.

Dia menyebut bagian otak itu tanpa direkayasa, tidak bereaksi ketika diperlihatkan gambar atau tayangan kejam. Kondisi otak seperti itu, imbuh Reza, tuna perasaan.

"Karena menjadi psikopat ternyata bisa dipahami sebagai sesuatu yang terkodratkan, kondisi psikopati malah bisa dipakai sebagai salah satu bahan pembelaan diri," ucapnya.

Reza melanjutkan, gangguan kepribadian antisosial pada anggota polisi bisa terjadi. Menurutnya, pada anggota polisi, psikopati terbentuk dari subkultur menyimpang di dalam organisasi kepolisian itu sendiri serta mudahnya personel melakukan penyimpangan (misconduct) tanpa dikenai sanksi.

"(Kalau) FS mengacu pernyataan Komnas HAM sebagai orang yang jangan-jangan berkepribadian psikopat hanyalah individu dengan kejiwaan yang terganggu yang terciptakan dari kantornya sendiri. Termasuk ulah kantor yang terlanjur memberikan dia kekuasaan seluas-luasnya," tukas Reza.

Komnas HAM menduga Ferdy Sambo mempunyai masalah kejiwaan karena tega membunuh ajudannya sendiri, Brigadir J. Masalah kejiwaan itu adanya sifat superpower yang dimiliki Ferdy Sambo karena mempunyai jabatan ganda, yakni Kadiv Propam Polri sekaligus Ketua Satgassus Merah Putih.

Ferdy Sambo menjadi tersangka penembakan Brigadir J bersama empat orang lainnya. Dia memerintahkan ajudannya Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu menembak Brigadir J.

Kemudian, dia menembak Brigadir J saat meregang nyawa. Lalu, menembakkan senjata Brigadir J ke dinding agar terlihat seperti baku tembak. Sambo merekayasa pembunuhan tersebut dan bersekongkol dengan sejumlah anggota Polri untuk menghilangkan bukti.

Istri Sambo, Putri Candrawathi juga terseret menjadi tersangka karena mengetahui skenario dan ikut menyaksikan saat iming-iming uang kepada Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf (asisten rumah tangga sekaligus sopir Putri). Ricky dan Kuat menjadi tersangka karena menyaksikan penembakan dan tidak melaporkan ke kantor kepolisian terdekat.

Kelima tersangka dijerat Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. Dengan ancaman hukuman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun.(OL-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat