visitaaponce.com

Eks Hakim MK Sebut UU KKR Sulit Dibuat Lagi

Eks Hakim MK Sebut UU KKR Sulit Dibuat Lagi
Eks hakim MK I Dewa Gede Palguna(Antara)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah mencabut Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) pada 2006. Padahal, kehadiran beleid tersebut saat ini dinilai mendesak untuk menyelesaikan belasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) lewat jalur nonyudisial.

Kendati demikian, mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan upaya pembuatan UU KKR sulit dilakukan. Palguna, sebagai satu-satunya anggota majelis hakim yang mengajukan perbedaan pendapat atau dissenting opinion, berpandangan UU tersebut sarat akan muatan politik.

"Saya sudah membayangkan akan sulit membuat UU KKR yang baru mengingat muatan politik UU ini sangat kuat," katanya kepada Media Indonesia, Jumat (13/1).

Dalam dissentingnya, Palguna mengatakan UU KKR lebih bermanfaat jika MK menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima, alih-alih menyatakan inkonstitusional. Sebab, ia mempertimbangkan kemanfaatan UU KKR itu sendiri.

"Karena pemohon justru akan lebih dirugikan jika permohonan dikabulkan. Sebab walaupun UU ini cacat, itu akan jauh lebih baik daripada jika dikabulkan, yang dengan kata lain tidak ada UU sama sekali," tandasnya.

Diketahui, ada delapan pemohon pengujian UU Nomor 27/2004 tentang KKR saat itu. Dua di antaranya adalah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras).

Para pemohon menilai Pasal 27 UU KKR soal kompensasi dan rehabilitasi yang dapat diberikan jika permohonan amnesti dikabulkan, telah menegasikan jaminan atas antidiskriminasi, persamaan di depan hukum, dan penghormatan martabat manusia yang dijamin konstitusi.

Majelis hakim konstitusi yang saat itu diketuai Jimly Asshiddiqie pada akhirnya menjatuhkan putusan ultrapetita dengan menyatakan UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Palguna menegaskan, MK mempersilakan agar UU KKR dibuat lagi. Hal yang sama juga disampaikan Jimly saat dikonfirmasi terpisah. Kendati demikian, Jimly mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM berat secara nonyudisial jug dapat dilakukan dengan keputusan presiden (keppres) yang sudah ada.

"Dengan UU baru baik, atau dengan tindakan aksi dengan keppres yang sekarang juga sudah cukup," singkatnya.

Dalam pertimbangan uji materiil UU KKR itu pun, majelis hakim menilai banyak cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui upaya rekonsiliasi. Selain membuat UU baru, upaya lainnya adalah melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.

Diketahui, Presiden Joko Widodo telah membentuk Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (PPHAM) lewat Keppres Nomor 17/2022. Salah satu rekomendasi tim adalah memulihkan hak korban dalam dua kategori, yakni hak konstitusional sebagai korban dan hak-hak sebagai warga negara.

Pemerintah sendiri memiliki upaya untuk membentuk UU KKR baru. Kepala Bagian Humas Kemenkum dan HAM Tubagus Erif Faturahman menjelaskan naskah akademik RUU KKR telah dibuat Direktorat Jenderal (Ditjen) HAM Kemenkum dan HAM pada akhir 2021 dan telah diserahkan ke Ditjen Peraturan Perundang-Undangan.

"Awal tahun 2022 ada undangan dari Polhukam, Kemenhan, Setneg, Ditjen HAM, dan Ditjen Peraturan Perundang-Undangan untuk membahas RUU KKR tersebut," terangnya.

Menurutnya, rapat telah dilaksanakan beberapa kali. Namun, belum ada keputusan dari Kemenko Polhukam sampai terbitnya Keppres Tim PPHAM. "Hingga hari ini posisi RUU KKR menunggu keputusan dari Polhukam, apakah jadi dibentuk atau tidak," tandas Erif. (OL-8)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat