visitaaponce.com

MK Kembali Tolak Gugatan Uji Materi Perkawinan Beda Agama

MK Kembali Tolak Gugatan Uji Materi Perkawinan Beda Agama
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih(MI/Susanto)

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menegaskan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan. Mahkamah kembali menolak permohonan pengujian materiil pasal-pasal terkait dengan keabsahan dan pencatatan perwkawinan dalam Undang-Undang No.1/1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945.

Seorang warga negara Indonesia E. Ramos Petege mendalilkan bahwa Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 8 huruf f dalam UU Perkawinan melarang perkawinan pasangan yang berbeda agama termasuk pencatatan yang menurutnya negara sama saja memaksa warganya dengan hanya memperbolehkan perkawinan seagama.

Dalam sidang perkara No. 24/PUU-XX/2022 itu, Mahkamah menegaskan bahwa pasal-pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945. “Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 8 huruf f UU No.1/1974 telah sesuai dengan UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang membacakan pertimbangan Mahkamah dalam sidang pembacaan putusan di ruang pleno MK, Jakarta, Selasa (31/1).

Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah, tegas Mahkamah, sebagaimana UU Perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan, Mahkamah telah secara jelas dan tengah menjawab bahwa mengenai keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberikan penafsiran keagamaan. Peran negara menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga atau organisasi keagamaan tersebut.

Mahkamah berpandangan bahwa pihak yang membuat penafsiran perkawinan beda agama tetaplah pemuka agama. Perkawinan yang sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Adapun pencatatan perkawinan yang dilakukan negara, sambung Wahiduddin, merupakan adminitratif kependudukan, sedangkan sahnya perkawinan, negara menyerahkan pada masing-masing agama dan kepercayaan.

Oleh karena itu, Mahkamah berpandangan tidak menemukan adanya perubahan dan kondisi perkembangan baru terkait persoalan konstitusionalitas keabsahan dalam pencatatan perkawinan sehingga tidak ada urgensi bagi Mahkamah untuk bergeser dari putusan-putusan sebelumnya. Mahkamah, tetap pada pendiriannya seperti pada putusan yakni No MK No.46/PUU-VIII/2010 dan putusan No.68/PUU-XIII/2014 mengenai keabsahan dan pencatatan perkawinan beda agama.

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman.

Pada putusan tersebut terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki perbedaan alasan (concurring opinion) yakni Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh. Suhartoyo dan Daniel beralasan akan lebih tegas apabila Mahkamah mengembalikan masalah terkait perkawinan beda agama dan penghayat kepercayaan, pada pembuat undang-undang atau menjadi kebijakan hukum terbuka pembuat undang-undang untuk merevisi UU Perkawinan yang dibuat sejak 1974.

Menurut Suhartoyo, Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, menimbulkan ambiguitas karena tidak ditegaskan pencatatan perkawinan yang dimaksud. Ia menyoroti data yang dihimpun berdasarkan Indonesia Conferense on Religion and Peace bahwa terdapat 1425 pasangan beda agama yang melangsungkan perkawinan di Indonesia.

“Ini menunjukkan ada banyak penyelundupan hukum,” ucap Suhartoyo.

Ia mencontohkan penyelundupan hukum yang dimaksud antara lain melangsungkan perkawinan di luar negeri, kemudian mencatatkan ke dinas kependudukan dan catatan sipil, melakukan manipulasi agama dengan melakukan perpindahan agama sementara salah satu pasangan dalam rangka mendapatkan surat/akta kawin, mengajukan permohonan penetapan pengadilan untuk melangsungkan perkawinan beda agama.

Fenomena tersebut, terangnya, terjadi seolah-olah terjadi karena kurangnya atensi negara yang mengakui dan menganggap tidak sah secara agama. “Seyogyanya negara hadir untuk menyelesaikan peramasalahan terkait melalui perubahan UU Perkawinan yang dibuat pada 1974 kondisi sosial masyarakat belum sekompleks ini,” tutur Suhartoyo/

Oleh karena itu, menurutnya negara perlu mempertimbangkan agar jika dilakukan revisi terhadap UU Perkawinan, perlu mengakomodir fenomena perkawinan beda agama dan tata cara pencatatannya secara bijak. Adapun Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh memiliki alasan agar penghayat kepercayaan berhak mendapat buku nikah atau akta nikah penghayat kepercayaan.

“Negara harus hadir dalam pencatatan perkawinan warga negara. Selain untuk melindungi pasangan beda agama atau penghayat kepercayaan juga melindungi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut,” ucapnya.

Ia merasa dengan dikembalikan pada pembuat UU yakni DPR dan pemerintah bisa menata ulang pasal-pasal dalam UU Perkawinan sehingga lebih humanis mengakomodir berbagai kepentingan dan lebih bisa memberikan perlindungan bagi warga negara. (OL-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat