visitaaponce.com

Lika Liku Kasus Hambalang yang Menyeret Anas Urbaningrum

Lika Liku Kasus Hambalang yang Menyeret Anas Urbaningrum
Sekilas lika-liku kasus Anas Urbaningrum(Antara)

EKS Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum hari ini akan bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung. Anas akhirnya menghirup udara bebas setelah delapan tahun mendekam di bui karena kasus  proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang 2010-2012. 

Bagaimana perjalanan kasus Anas Urbaningrum terjadi. Secara ringkas, berikut adalah kronologi runtut kasus.

Perjalanan Kasus 

Baca juga: Usai Bebas, Anas Urbaningrum akan Bertolak Ke Blitar 

Anas Urbaningrum dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi Hambalang, dimulai dari ‘nyanyian’ mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Nazaruddin yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi wisma atlet pada 2011 membuat dia merasa ditinggalkan oleh Partai Demokrat.

Hal itu membuat Nazaruddin bernyanyi. Ia bahkan menyebut sejumlah nama yang terlibat, seperti Edhie Baskoro Yudhoyono, Setya Novanto, Marwan Jafar, Ganjar Pranowo, dan Anas Urbaningrum. 

Baca juga: Profil Anas Urbaningrum, Mantan Ketum Partai Demokrat yang Dijebloskan ke Penjara

Pada 2009, Kemenpora yang dipimpin Andi Mallarangeng mengungkapkan akan membuat proyek besar berupa P3SON di Hambalang, Bogor. Mendengar itu, Kepala Divisi Konstruksi Jakarta I PT Adhi-Karya, Teuku Bagus Mokhamad Noor meminta kepada Manajer Pemasaran PT Adhi-Karya, Muhammad Arief Taufiqurrahman untuk memantau proyek tersebut. Karena, PT Adhi-Karya melakukan tender untuk proyek tersebut.

Setelah itu, Teuku Bagus, Arief, dan Mahfud Suroso, salah satu orang yang mengenal istri dari Anas Urbaningrum, mendatangi Sesmenpora Wafid Muharam untuk menanyakan keberlanjutan proyek Hambalang. 

Bahkan, dalam laporan Jaksa, mereka sempat bertemu Andi Mallarangeng di rumahnya di Cilangkap. Hingga pertengahan 2010, Teuku Bagus, Arief, dan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora, Deddy Kusdinar ikut menemui Andi Zulkarnain Anwar alias Choel, adik dari Andi Mallarangeng. 

Pertemuan itu, membahas mengenai fee sebesar 18% yang harus dibayarkan PT Adhi-Karya kepada Andi, sebagai jaminan PT AK memenangkan tender proyek di Hambalang. 

Mendengar kabar tersebut, Mindo Rosalina Manulang yang merupakan asisten dari Nazaruddin yang berasal dari Grup Permai, meminta PT AK mundur sebagai pengerja proyek Hambalang. Dikatakan, PT Duta Graha Indah (DGI) yang merupakan anak perusahaan Grup Permai milik Muhammad Nazaruddin, akan mengerjakan proyek tersebut. 

Penolakan Mindo disebabkan Nazaruddin yang melalui PT DGI telah menyuap Wafid Muharam sebesar Rp20 miliar pada periode April-Mei 2010 untuk memenangkan tender proyek Hambalang. Menerima kabar hanya PT DGI akan mengerjakan proyek wisma atlet, membuat Nazarudin menarik separuh dari imbalan yang telah dibayar. 

Mendengar kabar mengenai pertentangan oleh Mindo, Teuku Bagus meminta bantu Machfud Suroso yang mengenal istri Anas Urbaningrum untuk menangani masalah ini. 

Teuku Bagus akhirnya menerima kabar dari Machfud Suroso bahwa Anas akan mengundang Nazaruddin untuk bertemu dan membicarakan masalah tersebut. Dalam laporan Jaksa, Anas Urbaningrum dikabarkan meminta Nazarudin untuk mundur dari tender proyek tersebut. 

Dalam buku “Bocor-Bocor Duit Negara (2015)” yang ditulis oleh Ismantoro Dwi Yuwono, alasan dari Anas Urbaningrum akhirnya meminta PT DGI yang dipimpin Nazarudin untuk mundur, karena PT DGI tidak dapat menyanggupi permintaan Anas fee Rp50 miliar.

Namun, PT AK menyanggupinya. Setelah berhasil memenangkan tender proyek, PT AK membagi-bagikan Rp100 miliar sebagai uang suap. Di mana, Rp25 miliar untuk anggota DPR RI, Rp5 miliar untuk Kemenpora, dan Rp50 miliar untuk Anas Urbaningrum. Uang itu digunakan Anas untuk memenangkan kursi Ketua Umum dalam kongres Partai Demokrat pada Mei 2010 di Bandung. Dalam kongres itu, Nazaruddin mengungkapkan Anas mengelurkan dana Rp170 miliar untuk dibagi-bagi.

Pada Desember 2010, PT Adhi-Karya bersama PT Wijaya Karya menandatangani Kerja Sama Operasi (KSO), yang menandakannya berhak mengelola proyek Hambalang. Kontrak proyek Hambalang, awalnya hanya bernilai Rp125 miliar. 

Namun, dalam wawancara Nazarudin dengan Metro TV pada 2011, menyebutkan bahwa keterlibatan Bendahara Umum PDIP pada saat itu Olly Dondokambey, yang menjabat sebagai Pimpinan Badan Anggaran DPR RI, menerima suap US$1 juta agar anggaran proyek Hambalang yang semula hanya Rp125 miliar, dinaikkan menjadi Rp2,5 triliun. 

Dalam pengerjaan proyek, PT AK - PT Wijaya Kerja mensubkontrakkan 3 perusahaan yaitu PT Dutasari Citra Laras (DCL), PT Global Daya Manunggal (GDM), dan PT Aria Lingga Perkasa (ALP).

Dalam penyelidikan, terungkap istri Anas, Athiyyah Laila merupakan salah satu pemegang saham dan komisaris dalam PT DCL. PT DCL menerima proyek bernilai Rp324 miliar untuk bidang pekerjaan mekanikal dan elektrikal. Sedangkan PT GDM mendapatkan pekerjaan di bagian struktur dan arsitektur senilai Rp142,3 miliar.

Setelah melalui proses penyelidikan, KPK akhirnya menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka dalam kasus suap pada Februari 2013. Hal ini membuat petinggi Partai Demokrat, Jero Wacik dan Syarief Hasan meminta kepada Anas Urbaningrum untuk mundur dari kursi Ketua Umum. 

Namun, dalam surat perintah Penyidikan (Sprindik) yang dikeluarkan KPK, Anas dinyatakan menerima gratifikasi pada saat masih menjadi anggota DPR RI, menerima gratifikasi untuk proyek pembangunan di Hambalang, dan menerima berbagai suap dari proyek-proyek lain di berbagai kementerian.

Ungkapan “proyek-proyek lain” ini yang membuat loyalis dari Anas menuding KPK secara sengaja dan tanpa dasar mengkriminalisasi Anas. 

Vonis Anas

Pada September 2014, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Anas 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider kurungan selama 3 bulan. Vonis ini, lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK selama 15 tahun penjara dan membayar uang pengganti sebesar Rp94 miliar. 

Tak terima dengan keputusan, Anas melakukan banding pada Februari 2015. Saat banding, ia menerima vonis 7 tahun penjara dengan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan. 

Merasa kurang puas, Anas lakukan kasasi. Sialnya, kasasi yang dipimpin Artidjo Alkostar itu malah menjatuhkan vonis 14 tahun penjara dengan denda Rp5 miliar, subsider 1 tahun 4 bulan kurungan penjara. Selain itu, Anas diwajibkan membayar uang penganti sebesar Rp57.592.330.580 miliar kepada negara, sekaligus hak politik juga ikut dicabut. 

Pada Juli 2018, Anas mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Mahkamah Agung (MA), September 2018, akhirnya mengabulkan permohonan PK yang diajukan, dan menjatuhkan pidana penjara selama 8 tahun, dengan denda Rp300 juta subsider kurungan selama 3 bulan. (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat