visitaaponce.com

MK Tolak Permohonan Uji Materil UU KUHP dan UU ITE

MK Tolak Permohonan Uji Materil UU KUHP dan UU ITE
Sidang Uji Materil di Mahkamah Konstitusi.(MI/Moh Irfan)

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima atau menolak uji materil Pasal 491 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sidang Pengucapan Putusan Nomor 24/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh Risky Kurniawan dan Michael Munte ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman pada Jumat (14/4).

"Amar putusan, mengadili, menyatakan permoonan para pemohon tidak dapat diterima," terang Anwar Usman dalam persidangan.

Melalui pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M P Sitompul, Mahkamah mengatakan permohonan para Pemohon didasari pada kondisi tempat tinggal para Pemohon yang marak berkeliaran orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Sebagai mahasiswa hukum, sambung Manahan, para Pemohon berniat untuk melakukan penelitian mengenai ODGJ. Akan tetapi dirinya merasa terancam dan takut apabila dijadikan tersangka akibat berlakunya Pasal 491 angka 1 KUHP.

Baca juga: Tok! MK Tolak Uji Formil 4 Perkara Perppu Cipta Kerja

Selain itu, para Pemohon merasa tidak bebas untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun pada permohonan para Pemohon tidak menjelaskan bukti yang dapat menunjukkan banyaknya ODGJ yang berkeliaran di tempat tinggalnya dan tidak pula menunjukkan bukti dirinya pernah diganggu oleh ODGJ.

Pemohon hanya menjelaskan keinginan untuk melakukan penelitian tentang ODGJ, namun para Pemohon tidak menjelaskan kepentingan para Pemohon terhadap penelitian tersebut dalam kaitannya dengan ODGJ.

Baca juga: Uji Materiil UU Pemilu, Pemohon Pertanyakan Ketentuan Surat Keterangan Sehat Rohani

Para Pemohon juga tidak menjelaskan memiliki keluarga yang menderita gangguan kejiwaan. Sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon hanya menjelaskan kekhawatirannya apabila diganggu oleh ODGJ dan khawatir diancam pidana karena disangka tidak menjaga ODGJ.

Lagi-lagi, para Pemohon tidak menjelaskan secara detail  dan spesifik serta aktual atau setidak-tidaknya potensial atas hal-hal yang dapat menimpa pihaknya menurut penalaran yang wajar.

“Para Pemohon tidak menjelaskan hubungan dirinya dengan ODGJ karena tidak termasuk pihak yang wajib menjaga ODGJ. Dengan demikian, norma tersebut tidak ditujukan kepada para Pemohon, sehingga para Pemohon tidak memiliki kerugian hak konstitusional atas berlakunya pasal dimaksud,” sebut Manahan.

Berdasarkan berbagai pertimbangan hukum yang ada, menurut Mahkamah para Pemohon tidak mampu menjelaskan kerugian hak konstitusional yang dialaminya dengan berlakunya norma Pasal 491 angka 1 KUHP. Sebab, sambung Manahan, norma tersebut justru memberikan perlindungan kepada masyarakat agar tidak terancam oleh ODGJ, sehingga para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut.

"Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon," jelas Manahan.

Tolak Uji Materil UU ITE

Sementara itu masih dipersidangan yang sama, MK juga memutuskan tidak dapat menerima pengujian materil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

Adapun pengujian tersebut diajukan oleh seorang Karyawan Swasta atas nama Tedy Romansah yang terdaftar pada nomor perkara 25/PUU-XXI/2023.

"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum, namun oleh karena adanya ketidakkonsistenan antara posita dan petitum serta petitum tidak lazim sehingga menyebabkan permohonan Pemohon tidak jelas atau kabu (obscuur)," terang Hakim Arief Hidayat.

"Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut," imbunya.

Adapun dapat diketahui, dalam permohonannya, Pemohon mempersoalkan norma Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”. Dan Pasal 45 ayat (3) menyatakan,

“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp750 juta.

Pemohon mendalilkan UU ITE terdapat banyak pasal karet dan setiap pasal tersebut harus segera direvisi agar tidak berpotensi dapat merusak nilai keadilan dan kebenaran yang tertuang dalam UUD 1945. Pemohon merasa tidak mendapatkan jaminan dan kepastian hukum akibat berlakunya Pasal 27 ayat (3) dan 45 ayat (3) UU ITE. Pemohon merasa didiskriminasi dan tidak mendapatkan perlindungan hukum terhadap pribadinya yang dijamin oleh negara.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat