Presiden Diminta Hentikan Operasi Tempur dan Utamakan Dialog Damai di Papua
KOALISI masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan mendesak pemerintah menghentikan operasi tempur di Papua. Mereka mendorong Presiden Joko Widodo melaksanakan dialog untuk memulihkan situasi di Papua agar kondusif.
"Pilihan operasi tempur adalah pilihan kebijakan yang akan terus memproduksi spiral kekerasan. Jika itu pilihan kebijakan yang akan ditempuh, maka Koalisi mendesak agar rencana itu dibatalkan," ujar Aktivis dari Papua itu Kita Michael Hilman melalui keterangan pers, Rabu (19/4).
Michael menambahkan peristiwa gugurnya prajurit dalam operasi penyelamatan Pilot maskapai Susi Air yang disandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menyisakan duka bagi keluarga prajurit yang gugur dan keluarga besar TNI. Oleh karena itu, Koalisi ujar dia, berharap tidak ada lagi nyawa anak bangsa yang gugur akibat operasi militer di Papua.
Baca juga: TNI Berkoordinasi dengan Selandia Baru Terkait Upaya Penyelamatan Pilot Susi Air
"Kami memandang peristiwa baku tembak yang menewaskan prajurit kemarin harus menjadi pelajaran berharga bagi presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengevaluasi pendekatan keamanan militeristik yang selama ini dijalankan di Papua," imbuh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M Isnur.
Menurut Isnur pendekatan keamanan militeristik yang terus dijalankan berdampak langsung dan tidak langsung terhadap terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di Papua. Koalisi mencatat beberapa kasus yang sempat mencuat ke publik, misalnya pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani (tahun 2020), pembunuhan yang disertai mutilasi terhadap empat orang warga sipil Papua (tahun 2022), penyiksaan terhadap tiga orang anak yang dituduh melakukan pencurian (tahun 2022), dan lain-lain.
Baca juga: TPNPB-OPM Papua Siap Ladeni Ancaman Wapres dan Panglima TNI
"Selama ini, praktik impunitas selalu menjadi persoalan yang terus terjadi dalam kekerasan yang melibatkan aparat keamanan. Penegakan hukum untuk memutus mata rantai impunitas menjadi penting untuk mencegah berulangnya kekerasan aparat keamanan terhadap masyarakat sipil di Papua," Andi Muhammad Rezaldy dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS).
Sementara itu, Peneliti Imparsial Hussein Ahmad mengatakan evaluasi pendekatan keamanan militeristik perlu segera ditata ulang. Terutama gelar kekuatan pasukan TNI. Selama ini, menurutnya ada indikasi terjadi peningkatan jumlah kehadiran pasukan TNI yang tidak proporsional seiring dijalankannya pemekaran struktur organik dan pengiriman pasukan TNI non-organik dari luar Papua.
Berdasarkan estimasi Imparsial, jumlah prajurit TNI di Papua baik dari unsur organik aupun non-organik diperkirakan mencapai ±16.900 prajurit, yang terdiri dari ±13.900 prajurit TNI organik tiga matra (darat, laut dan udara) dan ±3000 prajurit TNI non-organik.
"Pada konteks pasukan non-organik, jika dilihat latar belakang satuannya, sebagian besar (jika tidak bisa dikatakan seluruhnya) yang dikirim ke Papua adalah satuan dengan kualifikasi tempur," terang Hussein.
Hussein menambahkan dari sisi legalitas dan akuntabilitas, pelibatan TNI dalam penanganan Papua tidak sejalan dengan Undang-Undang No 34/2004 tentang TNI. Ia menyebut bahwa Pasal 7 Ayat (3) UU TNI menegaskan pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang dilakukan oleh prajurit TNI, termasuk penanganan separatisme dan perbantuan terhadap kepolisian, harus didasarkan pada Keputusan Politik Negara, atau keputusan yang dikonsultasikan kepada DPR RI.
"Berdasarkan penelusuran Imparsial, pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan tertulis terkait dengan pengerahan pasukan TNI ke Papua. Dengan demikian, dari sisi hukum, pelibatan militer tersebut dapat dikatakan ilegal," tuturnya.
Koalisi memandangevaluasi operasi keamanan militeristik di Papua harus dibarengi dengan upaya konkrit penghentian spiral kekerasan di Papua melalui dialog damai.
Dewan Keamanan PBB
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menambahkan pendekatan militeristik dan agenda dialog di Papua menjadi sorotan komunitas internasional yang muncul kembali dalam mekanisme Universal Periodic Review (UPR) yang dihadapi Indonesia di Dewan HAM PBB pada November 2022 lalu.
Dalam forum peninjauan berkala tentang situasi HAM di negara-negara anggota PBB tersebut, ujarnya, pemerintah Indonesia mendapatkan beberapa rekomendasi setidak-tidaknya dari Kepulauan Marshall dan Slovenia untuk mengadakan dialog inklusif di Papua dan menyoroti pelanggaran HAM oleh aparat keamanan di Papua.
"Munculnya rekomendasi-rekomendasi itu menegaskan penggunaan pendekatan yang eksesif dan koersif hanya akan memperpanjang daftar pelanggaran HAM," tegasnya.
Ia mengatakan pemerintah justru menggunakan pendekatan militeristik. Hal itu ditandai dengan penolakan pemerintah Indonesia terhadap rekomendasi tersebut dalam sesi adopsi pada Maret 2023 serta munculnya wacana terkait pilihan operasi tempur.
"Pemerintah sejatinya memiliki modal dan pengalaman historis untuk menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan damai dan bermartabat melalui jalan dialog seperti pada konflik Aceh, Poso dan Ambon. Pengalaman penyelesaian konflik Aceh, Poso dan Ambon semestinya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk penyelesaian konflik Papua," tukasnya.
Koalisi mendesak empat hal yakni presiden dan DPR RI menghentikan operasi tempur dan pendekatan militeristik lainnya untuk menangani situasi keamanan di Papua, presiden dan DPR melakukan evaluasi terhadap seluruh kebijakan keamanan, hukum, dan pembangunan di Papua, pemerintah dan TPNPB-OPM melakukan gencatan senjata dan penghentian permusuhan segera untuk mencegah jatuhnya korban lebih jauh, serta menjajaki jeda kemanusiaan agar memungkinkan penanganan situasi pengungsi dan tahanan politik, pemerintah dan TPNPB-OPM membuka ruang dialog yang setara dan bermartabat. (Z-3)
Terkini Lainnya
Dewan Keamanan PBB
Komnas HAM Dorong Penegakan Hukum dan Penanganan Keamanan Terukur di Papua
TNI: Penyebutan OPM Tegaskan Kombatan yang Berhak Jadi Korban
Pimpinan KKB Papua, Abubakar Kogoya, Tewas dalam Kontak Senjata dengan Satgas Cartenz
TPNPB-OPM Klaim Tembak Mati 3 Anggota Intelijen di Puncak, Papua Tengah
TPNPB-OPM Nyatakan Bertanggung Jawab Atas Tewasnya Satu Personel Brimob di Intan Jaya
PM Selandia Baru Minta Kapten Philip Mehrtens Segera Dibebaskan, Ini Jawaban TNI
Polri Perpanjang Operasi Pencegahan Penyebaran Paham Radikalisme di Sulteng
TNI Kaji Perubahan Nama Puspen TNI Jadi Puskominfo
TNI Buka Suara Soal Dugaan Anggota Terlibat Kebakaran Rumah Wartawan
Prabowo Jalani Operasi Kaki Kiri di RSPPN Bintaro Jakarta
Tim Siber TNI Bergerak Selidik Peretas Data BAIS
Tim Siber TNI masih Dalami Dugaan Peretasan Data BAIS
Pemilu Iran: Pertarungan Dua Kubu Politik yang Sangat Berjarak
Spirit Dedikatif Petugas Haji
Arti Penting Kunjungan Grand Syaikh Al-Azhar
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap