visitaaponce.com

Sidang MK Jaksa Agung Boleh Rangkap Jabatan sebagai Anggota Parpol

Sidang MK: Jaksa Agung Boleh Rangkap Jabatan sebagai Anggota Parpol
Jaksa Agung Muda Pembinaan Bambang Sugeng Rukmono di sidang uji materi di MK.(MI/Adam Dwi)

JAKSA Agung Muda Pembinaan dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia Bambang Soegeng Rukmono menerangkan bahwa Jaksa Agung boleh merangkap jabatan sebagai anggota partai politik (parpol). Hal itu disampaikannya dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) di Mahkamah Konstitusi pada Selasa (20/6).

Bambang menjelaskan hal itu mengacu pada konferensi para Jaksa Agung di Seoul, Korea Selatan, yang dihadiri 25 negara. Dalam konferensi itu menghasilkan kriteria seorang Jaksa Agung yang independen dan profesional, yakni siapapun termasuk anggota partai politik yang memiliki dapat mengajukan diri menjadi Jaksa Agung pada 1990 silam. Kriteria tersebut pun telah diatur dalam Pasal 20 huruf b, c, d, dan f UU Kejaksaan dengan menjadikan presiden sebagai pihak yang bertugas untuk memilih Jaksa Agung yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud.

“Terkait dengan kekhawatiran Pemohon terhadap Jaksa Agung dari partai politik yang dinilai dapat mengintervensi jaksa dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Kejaksaan Agung berpendapat hal ini sama sekali tidak memiliki pijakan dalam peraturan hukum konkret. Kemerdekaan jaksa dalam melaksanakan tugas tidak berhubungan dengan kedudukan Jaksa Agung dari partai politik. Sebab, UU Kejaksaan telah memberikan kemerdekaan dan perlindungan hukum kepada jaksa dalam melaksanakan tugasnya,” jelas Bambang, Selasa (20/6).

Baca juga: Tanpa Batas Waktu, PKWT di UU Cipta Kerja Dinilai bakal Eksploitasi Pekerja

Bambang menjelaskan UU Kejaksaan telah memberikan kemerdekaan dan perlindungan hukum bagi jaksa dalam melaksanakan tugasnya, di antaranya Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (4), Penjelasan Pasal 8 ayat (5), dan Pasal 34A UU Kejaksaan. Berbagai norma tersebut, sambung Bambang, menjadi instrumen hukum yang melindungi jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang diberikan Jaksa Agung kepada jaksa.

"Dengan demikian, profesi jaksa telah dilengkapi dengan serangkaian regulasi yang menjamin kemerdekaan dan independensi jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya," imbuhnya.

Selanjutnya mengenai pengangkatan Jaksa Agung tanpa melalui proses fit and proper test oleh DPR sebagai bagian dari pelaksanaan check and balances, Kejaksaan Agung menilai hal demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut merupakan hak prerogatif Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan undang-undang.

Kedudukan Jaksa Agung dalam lingkup kekuasaan eksekutif merupakan perwujudan dari kebutuhan sinergitas visi dan misi yang ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden sepanjang masa jabatannya. Kesamaan visi dan misi dalam kebijakan hukum dan kebijakan lainnya yang ditetapkan oleh anggota kabinet dalilnya, memudahkan Presiden untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan untuk jangka waktu lima tahun, guna kepentingan publik dan kebutuhan pembangunan nasional.

Baca juga: Banyaknya Pasal Pidana dalam UU Pemilu, Dinilai Jadi Problematika Baru

“Dengan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini, pengangkatan Jaksa Agung tidak melalui persetujuan DPR, tidak menghalangi DPR untuk melakukan pengawasan terhadap Jaksa agung selaku pimpinan Kejaksaan. Pelaksanaan prinsip check and balances oleh DPR terhadap Kejaksaan RI dilakukan dalam bentuk mekanisme pelaksanaan rapat dengar pendapat (RDP) dan kunjungan kerja ke satuan kerja Kejaksaan,” terangnya.

Dia menambahkan bahwa Jaksa Agung mempunyai mempunyai peran sentral dan strategis dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang kompleks. Sehingga, menjadi Jaksa Agung tidak cukup hanya berlatar belakang seorang sarjana hukum.

"Juga dibutuhkan kemampuan teknis, penguasaan manajerial, anatomi kelembagaan serta mempunyai pengalaman pola penanganan penyelesaian perkara sebagai seorang jaksa di lembaga Kejaksaan Republik Indonesia.

Adapun, sidang keenam dari Perkara Nomor 30/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar yang berprofesi sebagai Analis Penuntutan/Calon Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tojo Una-Una, Wakai. Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan tafsir konstitusional untuk memperbaiki definisi Penuntut Umum dalam Pasal 1 angka 3 UU Kejaksaan agar mencakup juga Jaksa Agung selain jaksa yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Sebab, bisa saja seorang Jaksa Agung merupakan pensiunan jaksa yang tidak lagi berstatus PNS. Dengan demikian, norma a quo nantinya diharapkan tidak lagi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan.

Berikutnya, Pemohon juga memohonkan agar Mahkamah memberikan tafsir tentang pengangkatan Jaksa Agung yang tidak disertai oleh adanya fit and proper test di DPR RI yang menjadi bagian dari penerapan check and balances. Hal ini dapat berakibat pada gangguan independensi Kejaksaan Agung RI sebagai penegak hukum di Indonesia.

Menurut Pemohon, Pasal 20 UU Kejaksaan membuka ruang kesempatan dengan sangat mudah bagi seseorang yang tidak pernah mengalami berbagai hal dan tahapan proses sebagai jaksa untuk menjadi Jaksa Agung. Padahal Pemohon sendiri telah bersusah payah merintis karier sebagai seorang Analis Penuntutan selama 1 – 2 tahun dan mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) selama berbulan-bulan agar dapat diangkat sebagai seorang jaksa.

Sehingga norma tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat