visitaaponce.com

Menimbang Untung Rugi BRICS untuk Indonesia

Menimbang Untung Rugi BRICS untuk Indonesia
​Presiden Joko Widodo di KTT BRICS ke-15(YouTube Media Indonesia)

KOTA Johannesburg, Afrika Selatan, menjadi saksi terselenggaranya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-15 BRICS, yang diadakan pada 24 Agustus 2023. KTT ke-15 tersebut menjadi ihwal ekspansi besar kedua dari BRICS. Enam negara, yakni Arab Saudi, Argentina, Uni Emirat Arab, Mesir, Iran, dan Etiopia disebut menjadi kandidat anggota baru serta akan secara resmi bergabung pada 1 Januari 2024.

Tidak hanya itu, seusai KTT BRICS di Afrika Selatan, 40 negara di berbagai belahan dunia juga disebut tertarik untuk bergabung, tidak terkecuali Indonesia. Namun, apa itu BRICS dan mengapa banyak negara tertarik untuk bergabung?

Mengenal BRICS

Baca juga : Hadir di KTT BRICS, Jokowi Suarakan Solidaritas Antarnegara Berkembang

Sebelum masuknya Afrika Selatan (South Africa) pada 2010, BRICS dikenal sebagai BRIC, akronim dari Brasil, Rusia, India, dan China. Kata BRIC pertama kali dilahirkan ekonom dari Goldman Sachs, Jim O’Neill, melalui sebuah naskah ilmiah yang dipublikasikan pada 2001. BRIC adalah nama yang disematkan O’Neill untuk mendeskripsikan keempat negara (Brasil, Rusia, India, dan China) yang dipandang memiliki pertumbuhan ekonomi potensial.

Menurutnya, dalam kurun waktu 10 tahun yang akan datang, keempat negara ini diprediksi memiliki pertumbuhan ekonomi yang secara kolektif dapat memengaruhi ekonomi global.

Kelompok BRIC kemudian resmi berdiri sebagai organisasi internasional nonformal pada 2009. Pendirian dilakukan setelah terselenggaranya KTT pertama BRIC pada 16 Juni 2009, di Yekaterinburg, Rusia. BRIC adalah sebuah blok kerja sama internasional yang beranggotakan beberapa negara dengan ekonomi terbesar di dunia serta negara berkembang. Masuknya Afrika Selatan sebagai anggota tetap pada 2010 menandai ekspansi pertama dari blok ini. Seiring dengan masuknya Afrika Selatan, nama BRIC kemudian diubah menjadi BRICS untuk merepresentasikan Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa.

Baca juga : Jokowi Tegaskan Indonesia Belum Bergabung Sebagai Anggota BRICS

Tujuan BRICS dan Alasan Negara Berkembang Ingin Bergabung

BRICS didirikan sebagai wadah bagi negara-negara berkembang untuk berkumpul dan menjalin kerja sama ekonomi yang lebih erat. Kelompok ini memiliki sejumlah tujuan, di antaranya kerja sama ekonomi, perdagangan, serta pembangunan multilateral.

Salah satu ambisi BRICS ialah berusaha untuk lepas dari dolar dengan melakukan dedolarisasi, yaitu mengganti penggunaan mata uang dolar dari segala bentuk transaksi internasional.

Baca juga : Jokowi akan jadi Pembicara dalam KTT BRICS

Secara kepentingan geopolitik, BRICS didapuk sebagai tandingan bagi pengaruh Amerika Serikat dan sekutu dalam kancah global. Bagi para anggota dan calon anggota, BRICS diharapkan mampu lebih merepresentasikan pengaruh serta suara dari negara-negara berkembang. BRICS dipandang sebagai alternatif dan keanggotannnya diharapkan mampu memberikan sejumlah manfaat ekonomi, termasuk pendanaan pembangunan, peningkatan kerja sama perdagangan, sekaligus investasi.

Potensi dan Kelebihan BRICS

Anggota BRICS saat ini meliputi beberapa negara dengan ekonomi terbesar di dunia, terkhusus Tiongkok. Secara kolektif, kelima negara anggota BRICS menguasai sekitar 26,3% dari total PDB dunia, dengan proyeksi nilai mencapai US$27,6 triliun pada 2023. Anggota BRICS juga mewakili 40% populasi dunia, mencakup 3,2 miliar jiwa penduduk, menyumbang 20,4% dari total produksi minyak global, serta memiliki kapasitas ekspor perdagangan mencapai 20,2%.

Baca juga : BRICS Buka Pintu untuk Enam Anggota Baru

Apabila Arab Saudi, Argentina, Uni Emirat Arab, Mesir, Iran, dan Etiopia bergabung, angka-angka ini akan meningkat, bahkan total PDB yang dikuasai BRICS diperkirakan naik dan menyentuh angka US$30,8 triliun atau sekitar 29,3%.

Kelemahan BRICS

Meskipun BRICS memiliki sejumlah keunggulan dan potensi, sejumlah kelemahan juga menyertai kelompok tersebut. Kepentingan nasional serta kebijakan luar negeri tiap-tiap negara anggota sering kali berbeda. Seperti contoh India yang saat ini cenderung lebih dekat dengan Barat. Negara dengan populasi lebih dari 1,4 juta jiwa ini juga memiliki sengketa wilayah perbatasan dengan Tiongkok di wilayah Himalaya.

Baca juga : Lebih dari 20 Negara Resmi Gabung ke BRICS

Seusai KTT ke-15 BRICS, Brasil dan India disebut khawatir bahwa ekspansi akan melemahkan pengaruh mereka serta akan berdampak kepada kebijakan luar negeri ‘tidak-memihak’ yang mereka anut. Sementara itu, Rusia dan Tiongkok mempertegas posisi BRICS sebagai kelompok penyeimbang dari G-7 dan aliansi-aliansi kerja sama yang dipimpin oleh negara Barat.

Perbedaan pendapat dan kepentingan di antara anggota BRICS menyulitkan kelompok ini untuk dapat mencapai kesepakatan secara konsensus. Ditambah, perbedaan ekonomi yang cukup signifikan di antara mereka. Semakin banyaknya negara yang tergabung artinya akan semakin sulit pula bagi BRICS bersepakat atas suatu persetujuan, belum lagi kondisi dengan Rusia yang saat ini tengah diguncang banyak sanksi oleh dunia internasional akibat perang yang berkecamuk di Ukraina.

Perpecahan internal menjadi penghambat bagi BRICS untuk dapat menjadi pemain utama di panggung dunia. Dengan kondisinya saat ini, masih sangat panjang langkah yang harus ditempuh BRICS untuk dapat menjadi sebuah organisasi global terpadu, seperti layaknya World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF), dan G-7. Ambisi melakukan dedolarisasi bahkan hingga kini belum terwujud.

Baca juga : Anies Baswedan Respons Ucapan Selamat Jokowi ke Prabowo-Gibran

Peluang Indonesia di BRICS

Indonesia dinilai sebagai salah satu negara yang dinilai memiliki prospektif kuat untuk menjadi salah satu anggota BRICS. Presiden Joko Widodo pun turut hadir dalam KTT ke-15 BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan. Negara kepulauan terbesar di dunia ini juga disebut sebagai salah satu negara yang mengajukan ketertarikan untuk mendaftar sebagai negara anggota BRICS.

Namun, setelah KTT ke-15 tersebut, nama Indonesia tidak termasuk sebagai salah satu kandidat anggota baru. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi tidak menampik bahwa kenyataannya ment

Baca juga : Jokowi Minta Kecurangan Lapor ke Bawaslu dan MK, Anies: Ya Memang Begitu

eri-menteri luar negeri dari negara-negara anggota BRICS aktif melakukan pendekatan dan mengajak Indonesia untuk bergabung.

Presiden Joko Widodo menegaskan pemerintah belum memutuskan rencana Indonesia untuk bergabung ke dalam BRICS. Dirinya menyebut pemerintah tidak ingin terburu-buru. Menanggapi apa yang dinyatakan Presiden RI, Menlu Retno Marsudi menyatakan bahwa pihaknya saat ini sedang menimbang untung-rugi didapatkan, apabila negara ini menjadi salah satu anggota.

Pengamat politik Internasional dari International Institute for Strategic Studies (IISS), Fitriani, menjelaskan bahwa bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS akan membawa dampak positif dan negatif. Secara positif, negara ini dinilai mampu menunjukkan kepada dunia akan komitmennya untuk menjalankan kebijakan luar negeri bebas-aktif serta menyalakan kembali hubungan diplomasi dengan negara-negara di wilayah Asia-Afrika. Sementara itu, dampak negatif yang mungkin ditimbulkan ialah munculnya perspektif dari Amerika Serikat yang akan menilai bahwa Indonesia cenderung lebih memilih berpihak kepada Rusia dan Tiongkok.

Baca juga : Jokowi Ingatkan Nasabah PNM Pakai Pinjaman untuk Modal Usaha

Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi, Pusat Studi Strategis, dan Internasional (CSIS) berpendapat bahwa belum ada urgensi baik secara politik dan ekonomi bagi Indonesia untuk bergabung ke dalam BRICS.

Butuh Kajian Lebih Mendalam

Rencana bergabungnya Indonesia ke dalam keanggotaan BRICS memang selayaknya harus diputuskan secara hati-hati dengan menimbang berbagai konsekuensi yang nantinya turut mengikuti. Perlu kajian dan studi yang lebih matang apabila pemerintah memang berniat mendaftarkan Indonesia sebagai salah satu anggota dari BRICS.

Baca juga : Pernyataan Jokowi Soal Lapor Pelanggaran Pemilu ke Bawaslu Dinilai tidak Tepat

Pemerintah perlu menyikapi dengan bijak dinamika geopolitik dari kehadiran BRICS dan bagaimana dampak yang dihasilkan apabila Indonesia menjadi salah satu negara anggotanya, terlebih saat ini Indonesia sedang menjalin hubungan kerja sama strategis yang lebih erat dan aktif di sejumlah sektor dengan negara yang menjadi rival Tiongkok dan Rusia, yaitu Amerika Serikat.

Bagaimana pun, kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh Indonesia seyogianya memberikan keuntungan yang lebih banyak bagi Indonesia. Keputusan yang diambil harus selaras dengan prinsip luar negeri bebas-aktif yang dijalani sekaligus kepentingan nasional yang ingin digapai.

Baca juga : Spanduk Raksasa Nawa Bencana Jokowi Terpampang di Aksi Gejayan Kembali Memanggil Yogyakarta

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat