visitaaponce.com

Politik Dinasti Menang, Demokrasi Terancam

Politik Dinasti Menang, Demokrasi Terancam
Ilustrasi(MI )

PENELITI senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Lili Romli menilai politik dinasti menjadi persoalan ketika politik dinasti tersebut membajak dan membonsai demokrasi, khususnya untuk negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

“Bukan hanya itu saja, politik dinasti saat berkuasa dan untuk mempertahankan kekuasaannya memberlakukan aturan main tertutup atau close game,” jelasnya di ketika dihubungi, Senin (6/11).

Menurutnya, banyak kasus di Indonesia, karena demokrasi elektoral hanya sekedar formalitas. Hal itu terjadi karena semua kekuatan politik dikendalikan, media massa dilemahkan, dan civil society dikooptasi. Politik dinasti juga menguasai sumber daya ekonomi dan bahkan koruptif.

Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil: Putusan MK Jadi Basis Nepotisme dan Dinasti Politik

“Kalo di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak menunjukkan hal yang positif. Itu karena prosesnya membajak demokrasi dan ketika berkuasa mereka koruptif,” tuturnya.

Lili menyebut negara-negara maju juga ada politik dinasti yang melalui proses sesuai dengan prosedur demokrasi. Tidak ujug-ujug berkuasa, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui melalui pengkaderan dan rekrutmen politik yang sama seperti kader yang lain. 

Baca juga: Pemilu Jadi Sarana Menghentikan Demokrasi tidak Benar dan Politik Dinasti

“Mereka juga memiliki kualifikasi dan kapasitas yang baik sehingga ketika berkuasa juga berhasil dengan baik, tidak koruptif. Jika gagal, publik tidak akan memilihnya kembali, ada punishment,” sambungnya.

Lili menilai jika kondisi politik dinasti berlanjut, bukan tidak mungkin demokrasi akan meradang.

“Untuk proyeksi ke depan, jika politik dinasti tetap bercokol dan menang dalam pemilu, demokrasi Indonesia akan terancam. Sekarang saja demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, apalagi nanti jika yang berkuasa dinasti politik,” ujarnya.

 

Perkuat Mekanisme Kontrol

Sementara itu, pakar ilmu politik dari Universitas Airlangga, Prof. Kacung Marijan mengatakan akan subur tidaknya politik dinasti tergantung oleh mekanisme kontrol. 

"Kontrolnya bisa dua. Pertama adalah di level proses pemilihannya. Ketika masyarakat anggap itu tidak baik, masyarakat bisa secara kolektif menolak dan tidak memilihnya," sebut Prof. Kacung. 

Namun masih ada kesempatan di tahap kedua, setelah terjadi pemilihan. 

"Ketika calonnya itu sudah terpilih, bagaimana terjadi proses kontrol sehingga penyalahgunaan kekuasaan bisa dihindari. Dalam hal ini lewat DPR," imbuhnya.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki fungsi pengawasan yaitu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang Undang, APBN dan Kebijakan Pemerintah. 

"Kalau DPR-nya lebih kuat, harusnya kontrol kepada pemerintah harus lebih kuat," kata Kacung. Lebih lanjut, Prof Kacung mengatakan, politik dinasti terjadi karena proses rekruitmen politik di dalam keluarga secara tidak demokratis.

"Proses rekrutmen politik dinasti itu dibangun dan dibungkus melalui pemilihan secara demokratis formal. Hal ini terlihat di sejumlah daerah. Misal, habis jadi kepala daerah, istri atau anaknya yang gantikan," jelasnya

Menurut dia, pengalaman di beberapa daerah di Indonesia ada contoh baik dan buruknya. Misalnya, di Banyuwangi, Bupati Azwar Anas digantikan istrinya. 

"Sejauh ini jalannya pemerintahan oleh istrinya Pak Anas itu baik. Sementara contoh yang jelek misalnya di Bogor. Bupati Bogor pernah digantikan adiknya, dua-duanya tersangka korupsi." jelasnya. (RO/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat