visitaaponce.com

Pemilu Momentum Penting Merebut Demokrasi

Pemilu Momentum Penting Merebut Demokrasi
Ilustrasi(Dok MI )

KEMUNDURAN demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) merupakan situasi faktual yang kini terjadi dan bukan asumsi. Dalam diskusi Catatan Akhir Tahun Demokrasi, Hukum dan HAM, Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengungkapkan situasi yang buruk tersebut sangat dirasakan khususnya kebebasan sipil dalam berpendapat. Momentum Pemilu 2024 menjadi kesempatan penting untuk digunakan sebagai ruang untuk merebut kembali demokrasi yang substantif.

"Jangan sampai ke depan ruang politik, demokrasi kita dimanipulasi dan dibajak oleh elit apalagi kemudian proses politik yang ada memberi ruang atau tempat kepada calon yang memiliki rekam jejak yang buruk terhadap kasus HAM masa lalu. Ini menjadi tugas kita bersama. Jangan sampai kondisi pelanggaran HAM ini terus berlangsung di masa depan," tegasnya, Kamis (28/12).

Menurutnya di usia 25 tahun reformasi seharusnya demokrasi kita semakin terkonsolidasi tapi dalam realitas ini tidak terjadi dan mengalami kemunduran setelah reformasi. Dalam substansi demokrasi kita tidak hanya bicara tentang kelembagaan atau prosedur politik kita tidak hanya bicara soal mekanisme politik dalam demokrasi, tapi juga bicara soal substansi dan nilai-nilai.

Baca juga: Diksi Wakanda dan Konoha Lahir dari Ancaman Kebebasan Berpendapat

"Ini sesuatu yang semakin hilang aspek substansi demokrasi ini yang semakin tergerus. Bicara soal substansi demokrasi bicara tentang bagaimana penegakan HAM dijalankan, bagaimana komitmen pemerintah dalam penghormatan penegakan HAM dan diwujudkan atau tidak.

Bicara kebebasan sipil yang harus dihormati, dilindungi dan dijamin," ungkapnya.

Baca juga: Politik Harus Junjung Etika, bukan Halalkan Segala Cara

Dia menekankan demokrasi yang substantif yakni bicara tentang aparat keamanan dan polri harus profesional tidak terlibat dalam kegiatan politik serta melakukan kekerasan. Pengabaian substansi demokrasi tersebut semakin hari semakin terasa dilakukan oleh para elit politik.

"Ada nilai yang harusnya dijunjung tinggi dan dikedepankan dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan negara. Itu yang sekarang hilang semua bicara tentang mekanisme prosedur tapi soal substansi nilai semakin diabaikan oleh elite politik," tambahnya.

Lebih lanjut dikatakan kemunduran demokrasi di era Jokowi dapat dilihat dari arah kebijakannya yang lebih menekankan pada aspek pembangunan ekonomi berorientasi pada pertumbuhan. Ini menjadi prioritas kebijakan Jokowi sejak 2014 tentang ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan dan bukan berkeadilan, berpihak pada rakyat.

"Yang terjadi kemudian dalam mengamankan upaya kebijakan ini pertama kita bisa lihat pemerintahan Jokowi sejak awal sampai sekarang sangat abai dengan pembangunan demokrasi. Padahal kalau kita bicara tentang agenda politik rakyat pemerintahan tidak hanya ekonomi tapi juga seharusnya mendorong pembangunan politik hukum yang lebih progresif, kemudian agenda pembangunan HAM penguatan demokrasi yang substantif," paparnya.

Di kesempatan yang sama Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan menekankan kekuasaan cenderung korup dan jika kekuasaan tersebut dibiarkan mutlak maka penyelewengan, penyalahgunaan wewenang dan korupsi juga menjadi mutlak.

"Ini yang menjadi pekerjaan rumah dalam tata kelola demokrasi kita. Hari ini di mana kontrol atas kekuasaan itu tidak bekerja," imbuhnya.

Dia menjelaskan terdapat dua jenis kontrol atas kekuasaan yang biasa dikenal dalam hukum politik. Salah satunya kontrol kelembagaan atau dalam ruang publik disebut check and balances.

"Ada mekanisme kontrol antar lembaga yang harusnya bekerja. Tapi demokrasi kita hari ini dinilai banyak orang sebagai demokrasi yang cacat atau demokrasi yang mundur. Intinya adanya kontrol yang tidak bekerja yang membuat demokrasi kita mundur"

Sedangkan Deputi Internal Walhi M Islah menegaskan mengkritisi situasi ini juga disebabkan oleh banyaknya undang-undang yang diubah dan kemudian menutup ruang demokrasi, seperti salah satunya Undang-Undang ITE.

"Ruang demokrasi kita banyak berkurang orang jadi takut ngomong karena takut digugat. Kemudian undang-undang Minerba. Kalau orang-orang menolak (tambang) membuat aksi itu bisa ditangkap karena menganggap mengganggu usaha pertambangan," cetusnya.

Sementara itu peneliti Imparsial Al Araf menyimpulkan dengan situasi yang telah terjadi maka Indonesia bukan lagi sebagai negara hukum tapi masuk jadi negara kekuasaan. Pemerintah Jokowi menunjukkan karakter kekuasaan dalam 5 tahun terakhir.

"Karena kalau Indonesia berdasarkan negara hukum yang konsisten dengan konstitusi Indonesia yang menjelaskan bahwa kita adalah negara hukum maka ada empat pilar dalam prinsip negara hukum yang harus berjalan," ucapnya.

Empat pilar tersebut yakni penghormatan terhadap hak asasi manusia, adanya peradilan yang independen, pemerintahan yang berdasarkan hukum dan undang-undang dalam setiap kerjanya serta pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaan.

"Putusan Mahkamah Konstitusi adalah puncak dari wajah negara kekuasaan tersebut. Apakah rezim Jokowi melakukan penghormatan terhadap HAM jawabannya tidak. Malah berkoalisi dengan pelaku. padahal dulu pada waktu bersaing Jokowi menggunakan isu pelanggaran HAM berat tapi sekarang itu dilupakan malah bekerja sama," tukasnya. (Sru/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat