Puasa Ramadan Jadi Momentum Membentuk Pribadi Takwa dan Toleran
GURU Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Andi M Faisal Bakti menilai ibadah puasa Ramadan menjadi momentum untuk membentuk diri untuk menjadi insan yang bertakwa dan toleran.
"Ibadah puasa merupakan kunci dalam membangun manusia yang kokoh kepribadiannya sehingga bisa sabar dan memaafkan orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur'an bahwa umat diperintahkan berpuasa agar menjadi orang yang bertakwa," kata Andi seperti dikutip Antara di Jakarta, Selasa (28/3).
Dia menjelaskan makna puasa dari bahasa Arab ada dua kata, yaitu 'asshiyam' dan 'asshaum', artinya adalah menahan diri yang sifatnya fisik seperti makan, minum, dan hubungan suami-istri. Menurut dia, menahan diri ada yang sifatnya nonfisik, seperti mengontrol nafsu makan dan marah.
"Nafsu bisa berupa ketertarikan terhadap hal-hal yang sifatnya abstrak. Nafsu perlu dikendalikan agar tidak terjebak pada perbuatan buruk, seperti mencela atau mengungkit kesalahan orang lain," ujarnya.
Andi menekankan pentingnya menjaga toleransi di bulan suci Ramadan yang bisa terbentuk ketika mengedepankan prasangka baik terhadap orang lain.
Menurut dia, membangun toleransi perlu dilakukan oleh orang yang berpuasa kepada yang tidak berpuasa maupun sebaliknya.
Baca juga: Ramadan Bawa Berkah bagi Pedagang Layang-layang
"Kita harus membangun toleransi pada saudara kita yang berpuasa, jangan kita tunjukkan di depan dia ketika kita makan. Sebaliknya, orang yang berpuasa harus mengetahui bahwa ada orang yang tidak puasa dan perlu difasilitasi," katanya.
Andi berpesan tentang pentingnya menjaga kebersamaan sesama anak bangsa yang dapat dibentuk dengan melibatkan seluruh pihak.
Rasa kebersamaan itu, menurut dia, tidak hanya kalangan elite saja yang mendapatkan panggung, melainkan masyarakat bisa menyalurkan pendapatnya dengan bebas dan bertanggung jawab.
Menurut dia, dalam prinsip kebersamaan ada konsensus atau musyawarah mufakat yang penting untuk dijadikan pegangan, yaitu masyarakat dapat duduk bersama, ada hasil rapat yang disepakati, dan semua orang harus diberikan kesempatan untuk berpendapat.
"Jangan hanya tokohnya itu saja yang bicara, tapi tidak mau mendengarkan pandangan anggota masyarakat," ujarnya.
Andi mencontohkan Rasulullah Muhammad SAW selalu mendengarkan masukan dari para sahabat dan masyarakat walaupun Rasulullah memiliki kedudukan tertinggi di Madinah.
Menurut dia, Rasulullah ketika dulu mau perang seringi minta pandangan sahabatnya, seperti Salman Al-Farisi, Umar bin Khattab, Abu Bakar, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan yang lainnya. (Ant/I-2)
Terkini Lainnya
Hari Pers Nasional, Guru Besar UIN Jakarta Nilai Pers Pilar Penting Demokrasi
Baznas RI dan FDIKOM UIN Jakarta Perkuat Sinergi Dakwah Zakat
Mandat Sosial Perguruan Tinggi
Ikatan Alumni UIN Jakarta Angkatan 97 Gelar Peduli Yatim Piatu dan Dhuafa
Guru Besar Filologi UIN Jakarta Oman Fathurahman Raih Penghargaan Pustaka Paripalana
Pemilu 2024 Diprediksi akan Dibaluti Isu Agama
Hari-Hari Tasyrik: Pengertian, Larangan, dan Amalannya
Zikir, Selawat, Doa, Amalan dalam 10 Hari Pertama Zulhijah
Ganjaran Besar Puasa Sembilan Hari Awal Zulhijah
Sejarah Peristiwa dan Keutamaan 10 Hari Pertama pada Zulhijah
Niat Puasa Sunah Zulhijah Menjelang Iduladha
Bacaan dan Tata Cara Mandi Wajib untuk Puasa Ramadhan
Pluralisme Adalah Sunnatullah
Puasa dari Pencitraan Diri
Merawat Toleransi
Makna Kemenangan Idul Fitri
Kekuatan Doa
Kekuatan Berjemaah
Kisah Nabi Musa Melawan Firaun
Arti Jihad Sesungguhnya
Larangan Mengharamkan yang Halal
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap