visitaaponce.com

Kabar Burung Mengendap di Meja Makan Kita

Kabar Burung Mengendap di Meja Makan Kita 
(Ilustrasi Yopi Cahyono )

MEREBAKNYA berita tak benar atau hoaks kian meresahkan sebagian masyarakat kita. Kabar burung demi kabar burung itu pun menjamur di dunia maya dan merambat ke dunia nyata sebagai sebuah 'kebenaran'. 

Belum lagi ekonomi masyarakat yang rapuh akibat dampak pandemi covid-19. Semua berimbas pada mental masyarakat di Republik ini. Orang-orang gampang tersulut amarah alias sumbu pendek. Isu-isu kacangan pun digoreng sebagai sebuah sajian menu “tambahan” seusai sarapan, makan siang, dan makan malam. 

Kabar burung tentang terpuruknya kebudayaan dunia, khususnya Indonesia, membuat sebuah wadah bernama Akademi Jakarta ikut angkat suara. Mereka sebagai akademikus, budayawan, dan cendekiawan tegas mengambil sikat lewat rekomendasi “cegah penghancuran nalar publik”. 

Rekomendasi itu dituangkan lewat butir-butir pemikiran jernih. Mencakup lima bidang yang dijadikan titik perhatian secara serius. Kelimanya ialah pendidikan, lingkungan hidup, intoleransi sosial, ekonomi, dan politik. 

“Kami melihat gejala-gejala penghancuran nalar publik sudah sangat memprihatinkan. Banyak sikap keliru yang dianggap sebagai sebuah kebenaran. Ini sudah berbahaya sebab berdampak pada generasi sekarang,” ujar Ketua Akademi Jakarta Seno Gumira Ajidarma dalam pertemuan daring di Jakarta, Jumat (28/1). 

Generasi sekarang yang disampaikan Seno tak lain adalah generasi Y dan Z. Generasi Y atau yang lebih dikenal dengan generasi milenial adalah mereka yang lahir pada 1980-1995. Sementara, generasi Z ialah mereka yang lahir pada 1996-2015. 

Dengan begitu, rentang umur generasi Z, misalnya, adalah 7-26 tahun pada 2022 ini. Para ilmuwan juga menyebut mereka sebagai generasi alpha. Sebagian besar generasi alpha akan ikut memberikan suara mereka pada Pemilu 2024 mendatang. 

Upaya penghancuran nalar publik, khususnya terhadap generasi Y dan Z menjadi sebuah fenomena nyata di depan mata. Hal tersebut terjadi karena dampak teknologi informasi. Terutama, orang-orang yang memanfaatkan media sosial sebagai wadah mencari sensasional, popularitas, penebar hoaks, atau sekadar mencari pacar semalam. 

Pesan hiperrealitas disajikan secara masif lewat hoaks untuk menghancurkan nalar berpikir kritis generasi milenial. 

Sialnya, jika media sosial digunakan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Misalnya, mereka yang memiliki akun ganda dan anonim, maka mereka mudah saja untuk menyebar hasutan. Semuanya dibungkus secara masif dengan kabar-kabar burung. 

Rekomendasi “cegah penghancuran nalar publik” memang menarik. Perlu disikapi secara jernih dan kritis pula. Walau, hal ini sempat membuat saya bingung dengan butir-butir rekomendasi Akademi Jakarta sebab sesungguhnya bukan hal baru. 

Kebetulan, saya dikabarkan Pemimpin Redaksi Media Indonesia Gaudensius Suhardi untuk turut mengikuti undangan pertemuan daring bersama Akademi Jakarta. Saya memilih untuk mendengar setiap pemaparan para pembicara secara seksama. Rekomendasi tersebut walau bukan hal-hal baru, namun masih sangat relevan dengan kondisi hari-hari ini.

Saya pun yakin bahwa poin-poin yang dituangkan memang timbul dan lahir dari sari-sari pemikiran jernih para budayawan, sastrawan, dan cendekiawan. Topik yang disampaikan sangat beragam. Saya pun harus membuka kembali beberapa literasi dan teori penghancuran yang telah saya pelajari di Moskwa, Rusia. Salah satunya, yaitu Destruction of Reason. Kajian ilmiah yang pernah ditulis oleh filsuf Hungaria Georg Lukacs (1885-1971) dan dipublikasikan di Jerman pada 1962. 

Dalil-dalil Lukacs disajikan sebagai pernyataan umum bahwa penurunan ideologi borjuis yang ditetapkan pada akhir Revolusi 1848 di Eropa. Saya menarik benang merah bahwa ada kesenjangan kelas jika merujuk ke rekomendasi Akademi Jakarta. 

Memang, ada banyak telaah terutama dalam literatur dan seni. Namun, langkah konkret untuk “cegah penghancuran nalar publik” yang diutarakan Seno memang laik dan patut didukung. Intinya, ada ketimpangan kelas sosial di masyarakat kita. 

Dalam diskusi daring itu, topik pemindahan Ibu Kota negara juga tercuat. Menjadi rembuk hangat di antara para insan budaya selama kurang lebih dua jam via zoom. Tanpa disadari, persoalan kebudayaan ikut terseret sebab budaya dan politik saling memengaruhi. 

Solusi 

Akademi Jakarta merekomendasikan butir-butir penting dalam lima bidang berbeda. Masing-masing disajikan lewat perspektif dan pendekatan keilmuan. Terlahir dan tertuang dari pikiran-pikiran jernih. 

Pertama, pendidikan. Ada upaya untuk mengembangkan pendidikan holistik yang menajamkan kesadaran kritis, kecerdasan inovatif, dan pemanfaatan sumber budaya untuk memecahkan masalah lokal-global. 

Memajukan pendidikan seni dan humaniora sejak dini dengan mendayagunakan seniman dan budayawan setempat untuk menghidupkan dan mengembangkan seni budaya Nusantara. 

Kedua, lingkungan hidup. Mendorong kebijakan ekologis berbasis kearifan lokal yang didukung sains dan teknologi melalui kerja sama masyarakat dengan industri, baik swasta maupun pemerintah. Menggunakan kapabilitas warga dan keberlanjutan sumber daya alam sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. 

Ketiga, intoleransi sosial. Memperbanyak ruang publik yang mendorong interaksi sosial lintas budaya dan kebersamaan. Memberikan pelatihan literasi media, literasi budaya, dan literasi pengetahuan untuk mempertajam penalaran kritis. 

Keempat, ekonomi. Menerapkan paradigma ekonomi yang ekologis berbasis partisipasi masyarakat dengan penekanan pada ekonomi sirkuler dan keadilan sosial. Mengembalikan relasi kekuasaan ekonomi agar sesuai dengan UUD 1945 pasal 33. 

Dan kelima, politik. Memulihkan fungsi partai, alih-alih untuk meraup kekuasaan, untuk menjadi saluran aspirasi rakyat, dan wahana pendidikan politik yang beretika. Melaksanakan pendidikan politik sejak dini untuk menanamkan sifat sportif, jujur dan bertanggungjawab, menghargai perbedaan pendapat, serta berkomitmen melindungi yang rentan dan lemah. 

Rekomendasi Akademi Jakarta dalam lima bidang di atas tersaji secara terperinci. Itu menjadi hal-hal wajar adanya dan masih sebagai wacana. Namun, akan menjadi saran membangun bagi pemerintah dalam menjalankan sistem, terutama bagi DKI Jakarta. Akademi Jakarta melihat bahwa ruang publik kehidupan bermasyarakat kini sudah dalam keadaan rawan.

Untuk itulah, mereka perlu melaporkan telaah dan kajian tersebut kepada pemerintah secepatnya. Toleransi hidup bertetangga menjadi cermin bangsa. Sayangnya, intoleransi kini seolah boleh-boleh saja terjadi. “Dunia pendidikan seni juga tidak menjadikan orang sebagai bijak, namun sebagai tukang. Ini yang terjadi saat ini,” papar Seno. 

Menurut sastrawan kelahiran Boston, 19 Juni 1958 itu, pandemi menjadi bagian dari dampak kekeliruan penanganan terhadap ekologi. Rusaknya lingkungan hidup juga menjadi perhatian dalam rekomendasi Akademi Jakarta. 

Untuk itulah, Seno pun mengingatkan bahwa pentingnya menjaga kearifan lokal sebagai tameng hidup berbangsa dan bernegara. “Saya kira penyelamatan manusia lebih penting daripada pemanfaatan lingkungan hidup,” tuturnya, tenang. 

Rekomendasi “cegah penghancuran nalar publik” memang penting. Namun, di lain sisi dibutuhkan kejernian nalar. Hal-hal yang direkomendasikan oleh Akademi Jakarta bukan mutlak, namun wajib diterima secara bijak. 

Filsuf Karlina Supelli, turut hadir. Ia mengingatkan bahwa fakta menjadi landasan Akademi Jakarta menuangkan rekomendasi tersebut. Buah pikiran itu diambil berdasarkan pengamatan dan diskusi mendalam. “Kami mengamati bahwa situasi yang memprihatinkan adalah pelemahan civil society dan pelemahan terhadap media mainstream (arus utama),” ujarnya. 

Wajar adanya, civil society (masyarakat sipil) dapat dipahami sebagai "sektor ketiga" dari masyarakat, berbeda dari pemerintah dan bisnis, dan termasuk keluarga dan lingkup pribadi. Masyarakat terpecah karena ada kesenjangan sosial. 

Kotak hitam 

Saya mencoba memberikan sebuah pertanyaan berikut ini dalam bentuk yang paling menakutkan: apakah kebohongan dan kebenaran dibutuhkan? Dua hal tersebut ibarat lukisan Black Square karya pelukis kelahiran Ukraina Kazimir Malevich (1879-1935). Versi pertama ia lukis pada 1915. Hanya berupa kotak berwarna hitam. 

Saat Malevich membuat karya tersebut dua tahun sebelum Revolusi Berdarah pada Oktober 1917 di Petrograd, Rusia. Kala itu baru saja meredah Perang Dunia I. Pasukan Merah menguasai kota-kota besar di Rusia. 

Nah, apakah rekomendasi Akademi Jakarta setara kecemasan yang terjadi pada revolusi yang dipimpin Vladimir Lenin terhadap pembantaian keluarga Romanov? Sebab saat itu pasukan Bolsheviks mengeksekusi Tsar Nicholas II dan keluarganya pada 16 Juli 1918. 

Maaf, jika analogi saya ini sedikit melebar, namun itu adalah fakta. Ada sebuah penghancuran secara sistematis di abad ke-20. Saya pikir rekomendasi Akademi Jakarta adalah sebuah kecemasan bersama para budayawan, seniman, dan sastrawan. Mereka melihat ada sesuatu yang tak beres di Republik ini, mulai dari kabar burung sampai rencana pemindahan Ibu Kota. 

Di era kontemporer, kabar burung menjadi hiperrealitas dan disajikan lewat hoaks. Itu adalah bentuk paling ekstrem dari nihilisme. Tidak ada salahnya jika kaum cendekiawan dan budayawan prihatin karena kabar-kabar bohong yang bersarang di dunia maya telah dianggap sebagai sebuah 'kebenaran' oleh kelompok-kelompok tertentu. 

Rekomendasi Seno dan anggotanya akan terasa sulit karena terkait kebijakan politik. Sebab, Akademi Jakarta bertanggung jawab kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, bukan kepada Presiden RI Joko Widodo. 

Terlepas dari itu semua, niat besar Akademi Jakarta patut didukung. Mereka memiliki itikad baik “cegah penghancuran nalar publik”. Terutama, menyelamatkan daya pikir kritis dan kreatif bagi generasi Y dan Z di Republik ini. 

Kini, berita-berita yang mengandung fakta digoreng segelintir orang menjadi hiperrealitas. Lalu, disajikan secara masif berupa hoaks di media sosial untuk dikonsumsi kaum milenial. Jangan biarkan kabar burung ikut tersaji di atas meja makan saat kita menyeruput secangkir kopi atau menyantap sepiring pisang goreng. Yang bongkok tak dapat diluruskan. (SK-1) 
 

Baca juga: Waras
Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor
Baca juga: Kekerasan dan Pemekaran di Tanah Papua

 

 

 

 


Iwan Jaconiah, penyair, esais, dan editor puisi Media Indonesia. Ia adalah pesastra Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award pada helatan X International Literary Festival "Chekhov Autumn-2019" di Yalta, Krimea, Rusia. Buku terbarunya kumpulan puisi Hoi! (Terbit Press, 2020). Ilustrasi oleh Yopi Cahyono

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat