visitaaponce.com

Sajak-sajak Saras Dewi

Sajak-sajak Saras Dewi 
Moch Samba(Ilustrasi: Moch Samba)

Kehendak Kosmos 

Sesungguhnya aku tak kehilangan 
Kau tersembunyi dalam udara yang kuhirup 
Air mata yang kuurai 
Pasir yang kugenggam 

Cintaku menerobos kulit-kulit waktu 
Melolong, bergema-gema 
Memenuhi alam semesta 

Kekasihku, kau datang dari alam semesta 
Dan t’lah berpulang pada alam semesta 

 

Transparan

Aku jahit kata-kata di sepanjang lenganku
Mengapa kebencian menguasai kita?
Yang pelurunya menghancurkan jantung kemanusiaan
Mengapa kebencian bersarang di kepala kita?
Yang kapaknya meniadakan bisikan pohon terakhir
Kemana pertanyaan-pertanyaan ini ku kirimkan?
Mengapa tak seorangpun menjawabnya?

Tertidur di samping anjingku,
Dengan mata yang kerlipnya diberikan malaikat
Kami bertatapan, dan aku mengatakan padanya melalui isyarat
“Kewarasanku nyaris tak bertahan”
Ia menjilat hidungku,
Juga mataku yang menangisi segala kebencian ini
Jiwanya yang transparan
Tercermin di kedalaman matanya,
Seperti menguatkanku
Bahwa kebaikan belum hilang.
Sayup-sayup Tuhan menyamar di gerakan bola matanya
“Jiwaku pahit Tuhan.” Bisikku
Tuhan melumuri jiwaku dengan jilatan madu,
Jiwanya yang transparan,
Mengatakan, “Jangan menyerah sekarang” 


Kendeng 

Nyali, bangunlah! Bangunlah!
Lihat, kita tidak sendiri
Jangan kau menciut,
Jangan kau letih
Bidadari penjaga Kendeng sudah tiba
Dengan kebaya berkeringat dengan tekad
Aksara Allah di dalam kepalan tangan kiri
Turut menyertai mereka,
Amukan roh Kendeng 


Gadis-Gadis Tanjung Benoa

Nafas kopi masih tersisa di pinggir bibirku
Saat aku tiba di Tanjung Benoa,
Sahabatku berjalan di sisiku, 
Kami tertawa tersiram aroma laut Benoa
Memasuki gang kecil, dihias dengan sesaji bekas hari raya
Gadis-gadis Tanjung Benoa berhambur memelukku
“Selamat datang di Benoa!”

Kami bersantai di Bale,
Made menyajikan di hadapanku,
Ubi tumbuk, balado tahu dengan nasi yang panas
Pohon mangga melambaikan rantingnya ke arahku,
“Made, inikah pohon Mangga yang tempo dulu,
kau berikan buahnya kepadaku?” 
Aku dan Made menatap pohon Mangga yang jelita
“Betul, dagingnya manis, semanis persahabatan kita.”
Kami berbagi senyuman,
Sembari mengunyah santapan siang.

Gadis-gadis yang lainnya, 
Tertawa terpingkal-pingkal,
Terjungkal menyaksikan kelucuan Purwaningsih
Komang menyandarkan kepalanya di bahuku
Putu bersibuk merekam tingkah laku kami semua
Gerhana dengan cat kukunya yang manis, menghidupkan rokoknya
Astuti tersenyum manis, menawarkanku pencuci mulut

Gadis-gadis Tanjung Benoa,
Gelisah melirik ke jam dinding
“Sebentar lagi kau kembali ke kota, meninggalkan kami semua”
Tawa kami redup tergantikan air mata
Matahari dengan anggun mulai beristirahat,
Mengisyaratkan perpisahan
Mereka memberikanku bingkisan perpisahan,
Diikat dengan pita harapan.

Aku mendekap mereka satu persatu
Lalu berpamitan.
Mereka berdiri di belakangku,
Memandangku berjalan menjauh,
Aku menoleh untuk terakhir kalinya,
Kuteriakan dengan mereka di ujung mata
“Aku mencintai kalian semua gadis-gadis Tanjung!” 


Tuak di Tanjung Benoa

Kepala dusun duduk bersebelahan denganku
Dermaga itu sibuk meski paduka Benoa sedang surut
Di ujung dermaga itu, kepala dusun menuangkan tuak
Kepalaku sudah terasa ringan,
Tetapi alangkah lancangnya menolak tuak

Aku menyimak ceritanya,
Supaya jiwaku tidak kesepian di kota nanti
Cerita-cerita ini perisaiku,
Dari hampa yang menantikanku

Matahari mencium ujung bulu mataku,
Ia berpamitan di Barat, 
Bulan keempat mulai nampak di langit
Petanda, akhir dari musim panas
Angin bergerombol mengikuti perbincangan kami

Air laut berangsur-angsur menghilang
Sehingga anak-anak dapat berlari-lari di Teluk Benoa
Mereka menerbangkan layang-layang,
Anak anjing ikut kegirangan menyoraki mereka

Bermurah hati sungguh Sang Hyang Benoa
Bangau-bangau berjalan seperti mengulum senyum
Mata kami bertemu, mereka pun terbang dengan lentik
Pemuda Tanjung memancing di sisa genangan air laut
Mereka tertawa tanpa kerikil beban di hati

Kapal-kapal berjejer menunda pelayarannya
Menunggu kedatangan deru air laut
Beristirahatlah para perahu,
Sementara bangau-bangau berlenggak-lenggok
Paruhnya mencari ikan-ikan perak 

 

Karena hidup 100 tahun pun tanpa rasa kehilangan tidak akan berarti apa pun 


Cintai Aku Sedikit Lebih 

Bagaimana aku akan tersenyum ?
Jika, roh lengkungan senyumanku ada padamu
Apakah yang lebih buruk dari duka ?
Kematian rasa adalah kemalangan yang lebih buruk
Duka tanpamu, adalah duka tentangmu
Tentang kenangan yang masih menjadi milikku
Rasa itu masih bertahan,
Meski tanggal-tanggal memudar
Terhambur terlupakan, 
Namun cinta
Melekat seperti peluh
Saat kemarau tiba 


Cinta Lingkungan Hidup

Manusia memasang
Papan raksasa
Di sela gedung pencakar langit
Pesan yang menyampaikan,
“Cinta Lingkungan Hidup”
Meski gedung itu menindih sekawanan pohon terakhir

Manusia menandai
Pemukimannya,
Di semua tempat tinggal dilekatkan pesan
“Cinta Lingkungan Hidup”
Tapi, manusia juga menimbun limbah membunuh kehidupan sungai

Manusia membanggakan
Akal dan ilmu pengetahuan
Di sampul buku yang tercetak berkilau
“Cinta Lingkungan Hidup”
Walau teknologinya telah mencekik nyanyian moyang bakau

Apakah cintanya yang salah,
Atau cintanya yang sesat
Bisa jadi,
Bukan cinta sama sekali? 


Damaskus

Muhyiddin Ibn Arabi, mengajakku naik ke atas bukit
Di suatu pagi saat tidak ada senjata dibunyikan
Kami membawa roti sebagai bekal,
Syekh Akbar tersenyum dibalik jenggot putihnya
Ia menggandeng tanganku, mendekati puncak bukit
“Damaskus tercinta.”
Kami duduk di bebatuan berwarna putih gading
Di bawah pohon zaitun
“Mereka akan menghancurkan Damaskus,
satu-satunya tempat yang memperbolehkan ajaranku.”
Ia mengeluarkan roti, membelahnya dan memberikan separuh padaku
“Makanlah!“
Aku mengunyah roti itu perlahan,
Rasanya hambar, dan kesedihan menyergap dari ujung lidahku
“Kau murid terakhirku,
dan bukit ini menjadi saksi, cinta sedang di ujung tanduk” 


Kau 

Kau tidak sebatang kara
Lautan adalah rumahmu
Pengetahuan adalah orang tuamu
Hujan adalah kekasihmu
Anggur adalah saudaramu
Matahari adalah gurumu
Musik adalah jalanmu
Puisi adalah sahabatmu
Dunia adalah secarik kertas
Menunggu aksaramu 


Filsafat Kehilangan 

Siapakah penentu 
Akan benda-benda yang kaumiliki
Atau tangan-tangan yang singgah di hidupmu

Karena sesaat saja mereka dapat menghilang
Esok
Hari ini
Atau dalam satu milidetik

Sehingga dalam doaku
Kukatakan, jangan berikan umur panjang
Tapi limpahi aku dengan kerinduan
Meski sesaat saja 

Karena hidup 100 tahun pun 
Tanpa rasa kehilangan 
Tidak akan berarti apa pun 

 

Baca juga: Memaknai Seni, Tubuh, dan Alam
Baca juga: Puisi sebagai Terapi saat Pandemi
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia

 

 

 

 


Saras Dewi, penulis, aktivis lingkungan, dan dosen, lahir di Denpasar, Bali, 16 September 1983. Buku kumpulan puisinya Jiwa Putih (Kutu Buku, Jakarta, 2005) dan Kekasih Teluk (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2022). Ia dikenal sebagai penyair yang mengusung tema-tema lingkungan dalam karyanya. Pernah meraih fellowship dan riset ke Leiden University (2013). Dipilih Dewan Kesenian Jakarta sebagai penyaji pidato kebudayaan berjudul Sembahyang Bhuvana di Taman Ismail Marzuki (2018) dengan fokus pada masalah pengetahuan dan lingkungan hidup yang sedang mengalami krisis. Puisi-puisi di sini disajikan dalam rangka merayakan Festival Bahasa dan Sastra Media Indonesia 2022. Kini, mengajar filsafat di Universitas Indonesia. Ilustrasi header: Moch Samba(SK-1) 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat