visitaaponce.com

Perkara Sentuhan Manusia, Ibu, dan Rindu, dalam Film Laut Memanggilku

Perkara Sentuhan Manusia, Ibu, dan Rindu, dalam Film Laut Memanggilku
Tumpal Tampubolon, sutradara film Laut Memanggilku.(MI/Fathurrozak)

Beberapa waktu lalu, film pendek Laut Memanggilku karya sutradara Tumpal Tampubolon memenangkan Sonje Award di Busan International Film Festival. Film tersebut juga menjadi film pendek terbaik di Festival Film Indonesia 2021.

Laut Memanggilku berkisah tentang dua anak yang merindukan afeksi dari sosok ibu, dan itu ditemukan lewat boneka seks.

Media Indonesia berbincang dengan Tumpal usai pemutaran Laut Memanggilku di gelaran Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) ke-16 pada Kamis, (2/12), di Empire XXI Yogyakarta. Berikut perbincangan kami mengenai penciptaan film Laut Memanggilku dan sedikit membahas upaya yang perlu dilakukan oleh industri dan pemerintah dalam mendukung film pendek sebagai ‘investasi’ talenta perfilman.

Darimana ide Laut Memanggilku?

Beberapa tahun lalu, ada artikel tentang penemuan bidadari yang jatuh ke laut di wilayah Indonesia timur. Ada foto-fotonya, bagi pembaca yang tahu seperti saya ya itu sex doll (boneka seks). Itu ditemukan oleh nelayan, disangkanya bidadari. Sekampung heboh. Lalu didandani dengan pakaian terhormat.

Ada ide muncul di kepala saya soal konsep perempuan, ibu, karena bagi saya, (boneka) di foto itu seperti seorang ibu.

Setelah itu?

Itu kan artikel beberapa tahun lalu ya. Draf (naskah) pertama saja saya ingat itu 2019. Jadi artikelnya setahun atau dua tahun sebelum itu. Dan film ini dibuat saat pandemi tahun pertama, Desember 2020.

Jadi ketika pandemi diumumkan pada Maret 2020, yang paling terasa buat saya adalah interaksi sesama manusia, ada yang dirampas. Sentukan ya terutama.

Buat saya sentuhan itu esensial. Apa lagi buat anak-anak. Jadi saya merasa ada defisit sentuhan. Dari situ muncul kerinduan untuk sentuhan, kehangatan antara manusia. Pandemi ini mengajarkan harapan itu ada di sesama kita.

Jadi dari situ ide makin dikembangkan?

Kalau ide saya selalu punya tabungan banyak. Tinggal pemantik berikutnya adalah membuat film. Waktu itu saya beruntung ketemu produser Mandy Marahimin yang mendukung saya buat bikin film pendek.

Ide-ide itu selalu jadi coretan di buku saja, karena duitnya. Ha-ha..

Bikin film ya bisa sih pakai ponsel, iya saya ngerti. Cuma tetap harus ada satu production value yang mau dicapai itu sampai mana. Di festival-festival internasional, (film pendek) sudah enggak ada bedanya dengan film panjang. Kenapa buat film pendek jadi sepele? Tentu kan harus jadi serius juga.

Lalu, karakter anak memang sudah diintensikan sejak awal di naskah?

Beberapa film pendek saya sebelumnya juga ada karakter anaknya. Jadi saya berada dalam fase pengin bicara anak-anak.

Meski masyarakat anggap anak-anak adalah karakter simple, melihatnya apa sih keresahan mereka? Buat saya, mereka juga manusia yang punya kompleksitas juga. Cuma mengartikulasikannya yang enggak bisa.

Saya selalu tertarik karakter anak. Bagaimana kalau mereka berduka. Kalau orang dewasa kan bisa. Tapi, bagaimana anak-anak mengekspresikannya? Buat saya itu jadi tantangan visual dan pengadeganan juga. Itu yang saya eksplorasi.

Bertemu karakter yang tepat?

Tematiknya itu kehilangan. Itu lumayan panjang. Buat saya pengalaman yang sebenarnya bagaimana anak kecil sudah bisa mengatasi itu. Tapi itu kenyataannya.

Lalu saya cari aktor anak kecil. Saya enggak nemu. Saya menginginkan autentisitas. Nah, di mana itu carinya? Anak kecil tapi pengalaman hidupnya sudah kompleks dan merasakan banyak hal. Yang saya cari pertama gestur, wajah terutama.

Wajah mereka akan lebih banyak bicara dibanding berdialog. Di Laut Memanggilku kan sedikit sekali dialognya. Dan saya percaya perasaan itu sudah tidak perlu diomongin lagi lewat dialog. Karena sudah dalam.

Beruntung ketemu Muhammad Umar yang bisa membawakan itu. Meski dalam kesehariannya dia ceria. Tapi dalam kondisi itu ada magis. Oh, dia mengerti dan bisa mengekspresikannya. Saya dulu deh yang percaya.

Ada boneka seks dan anak-anak. Bagaimana dalam produksinya?

Kami banyak dibantu dengan ketua dan pendiri Yayasan Sanggar Anak Harapan, Leni Desinah. Dia juga yang membantu kami menemukan pemeran untuk karakter di film ini. Dia banyak melakukan advokasi soal pendidikan seksual dan kekerasan seksual terutama di kalangan rentan, termasuk anak-anak jalanan.

Dengan izin darinya, saya presentasikan naskah. Dia bilang bagus, dan memang anak-anak terpapar dengan itu. Tinggal kami melindungi bagaimana dari sisi anak-anak memahami konteks di cerita. Dan ketemu titik sepakatnya.

Selama produksi, Mandy (produser) juga ingatkan terus. Misal ada cara untuk menuturkan boneka seks itu bagaimana. Oke, itu boneka seks. Ada consent tidak. 'Lo mau ke arah mana nih, Tumpal, ceritanya?'

Ini bukan soal seksualitas. Justru saya mau benturkan benda yang profane itu. Namanya ibu selalu diasosiasikan dengan sesuatu yang kudus. Saya suka perbenturan itu. Bahwa benda yang profane ini jadi objek hasrat dengan sesuatu yang selalu diasosiasikan dengan yang lembut, baik, dan kudus. Itu menarik buat dieksplorasi.

Ide judul Laut Memanggilku?

Judul-judul selalu menjadi kendala buat saya. Enggak jago bikin judul. Itu bahkan terakhir. Awalnya saja pas syuting cuma balon. Tapi lalu diskusi dengan ko-produser kami dari Prancis, ketemu judul Laut Memanggilku. Dalam bahasa Prancis, la mer (laut) itu mirip dengan la mere (ibu). Jadi semacam punya makna ganda. Laut Memanggilku: Ibu Memanggilku.

Kalau buat saya, memahaminya bahwa laut di tempat kami syuting itu isinya sampah semua. Itu seperti apa yang kita lempar ke laut, dikembalikan lagi. Semacam ada interaksi, “kalau lo buang sampah di laut, gue (laut) balikin.”

Dari sampah yang dikirim oleh laut, akhirnya ada yang berguna. Saya kepikirannya Laut Memanggilku di film ini seperti itu. Makanya juga banyak pakai ombak. Banyak suara yang menenangkan, menghibur. Makanya juga si karakter utama suka menatap laut. Semacam terapi suara.

Sejak awal juga memang sudah diintensikan dengan lanskap pesisir sebagai latar?

Pemilihan pesisir itu dari awal saya tidak terbayang laut yang terkenal. Laut yang indah dengan warna biru dan pasir putih. Karena tinggal di Jakarta, saya justru ingin membawa pengalaman itu. Laut yang kotor, jorok. Itu lokasi ketemunya di daerah Tangerang, sudah dekat bandara.

Anda tadi menyebut film pendek masih dianggap sepele. Tantangan para sineas di film pendek?

Memang selalu masalahnya adalah soal ekosistem terus-menerus. Para pembuat film panjang kita bahkan sepertinya hampir 90% itu mulainya dari film pendek. Jadi itu memang jadi semacam ruang untuk bereksperimen. Menemukan bahasa visual, jati diri.

Itu harus dilihat sebagai investasi untuk para pemangku kepentingan film Indonesia, untuk industrinya. Misal nama-nama seperti Edwin, Ifa (Isfansyah), (Ismail) Basbeth, ketika mereka masuk ke industri, dan bisa bikin film panjang, kita tahu dan menantikan karya mereka karena sudah menonton film pendeknya. Karena dari situ sudah mulai kelihatan ciri khasnya.

Lalu, ketika buat film pendek sendiri di mana ruangnya untuk diputar. Apa OTT sekarang sediakan solusi? Ternyata tidak juga. Itu menang harus dilihat sebagai investasi. Bikin film pendek terkesannya buang-buang uang kalau dilihat profitnya. Sulit mengharapkan mendapat untung dari film pendek. Di global juga sulit dijual kecuali untuk kompilasi atau ke tv.

Yang bisa diupayakan?

Kalau kebijakan, terutama ekosistem, dukung saja para pembuat film muda, film pendek. Bantu saja mulai dari pendanaan, distribusi, dan eksibisinya.

Dulu saja ada beberapa festival film pendek seperti Konfiden. Nah forum-forum seperti itu juga perlu dibantu.

Intervensi atau otokritik untuk industri termasuk para pemodalnya?

Kalau saya sendiri, dari industri film Indonesia, seperti fasilitas-fasilitas produksi dan pascaproduksi. Misal ada Fourmix (audio post production) dan Studio Super8mm (post production). Itu hampir 80-90% film Indonesia pascaproduksinya di sana. Pemilik kedua institusi itu kan bisnis ya, tapi mereka selalu memberi ruang buat film pendek. Judulnya ‘bantuin’. Kita bayar tapi dengan rate yang tidak besar.

Saya beruntung bisa mendapatkan akses itu karena tinggal di Jakarta, punya privilese. Bagaimana akses seperti itu untuk teman-teman yang di daerah?

Imi himbauan saja. Artinya business is business. Tapi kalau ada ruang, boleh berikan bantuan seperti itu. Seperti sewa kamera, sistem barter dengan logo ditaruh di film. Ya dibutuhkan lah, bantuan alat-alat yang mahal itu. Kebayang bagaimana mahasiswa dapatkan sulitnya akses seperti itu.

Kalau dibuka program bantuan untuk pembuat film pendek itu sangat membantu.

Artinya harus membuka ruang yang lebih bagi film pendek?

Dalam bahasa bisnisnya anggap investasi. Yang bikin film kan bukan kamera atau alat tapi manusia, termasuk sutradara. Jadi itu semacam investasi intangible. Perlu nurture talenta. Suatu hari ketika mereka terjun ke industri atau ke yang lainnya, mereka pasti akan ingat dan itu akan dikembalikan lagi, akan bekerja sama dengan postpro yang pernah bantu misalnya. Jadi anggap saja itu investasi. (M-2)

BACA JUGA: Cerita Randolph Zaini di Balik Layar Preman

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat