visitaaponce.com

Manfaat Kecerdasan Buatan untuk Melindungi Keanekaragaman Hayati

Manfaat Kecerdasan Buatan untuk Melindungi Keanekaragaman Hayati
Taman Nasional Kruger Afrika(Phill Magakoe / AFP )

KEHADIRAN teknologi, termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligence) atau AI, sangat membantu kehidupan manusia, salah satunya untuk melindungi keanekaragaman hayati .  . Para konservasionis kini semakin beralih ke AI sebagai solusi teknologi inovatif untuk mengatasi krisis keanekaragaman hayati dan mengurangi perubahan iklim.

Sebuah laporan baru-baru ini oleh Wildlabs.net menemukan bahwa AI adalah salah satu dari tiga teknologi baru yang muncul dalam dunia konservasi. Dari jebakan kamera dan gambar satelit hingga rekaman audio “AI dapat mempelajari cara mengidentifikasi foto mana dari ribuan yang berisi spesies langka. Ini sangat mengurangi tenaga kerja manual yang diperlukan untuk mengumpulkan data konservasi yang penting,” tulis laporan tersebut yang dilansir The Guardian, Rabu (24/2).

AI membantu melindungi spesies yang beragam seperti paus bungkuk, koala, dan macan tutul salju. Hal ini mendukung pekerjaan para ilmuwan, peneliti, dan penjaga hutan dalam tugas-tugas penting, mulai dari patroli antiperburuan hingga pemantauan spesies. Dengan sistem komputer pembelajaran mesin (ML/machine learning) yang menggunakan algoritma dan permodelan komputer, memahami, dan beradaptasi, AI seringkali mampu melakukan pekerjaan ratusan orang, mendapatkan hasil yang lebih cepat, lebih murah, dan lebih efektif.

Berikut adalah lima proyek AI yang berkontribusi pada pemahaman kita tentang keanekaragaman hayati dan spesies:

1. Menghentikan pemburu liar

Taman nasional Kafue Zambia adalah rumah bagi lebih dari 6.600 gajah sabana Afrika dan mencakup 22.400 km persegi, jadi menghentikan perburuan adalah tantangan logistik yang besar. Penangkapan ikan ilegal di Danau Itezhi-Tezhi di perbatasan taman juga menjadi masalah. Para pemburu liar kerap menyamar sebagai nelayan untuk masuk dan keluar taman tanpa terdeteksi, seringkali di bawah naungan kegelapan.

Inisiatif Konservasi Terhubung, dari Game Rangers International (GRI), Departemen Taman Nasional dan Margasatwa Zambia dan mitra lainnya, menggunakan AI untuk meningkatkan upaya anti-perburuan konvensional, menciptakan pagar virtual sepanjang 19 km di seberang Danau Itezhi-Tezhi. Kamera termal inframerah (FLIR) dapat merekam setiap perahu yang melintas masuk dan keluar taman, siang dan malam.

Pagar virtual ini dipasang pada 2019, serta dilengkapi kamera yang dipantau secara manual oleh penjaga, yang kemudian dapat merespons tanda-tanda aktivitas ilegal. FLIR AI kini telah dilatih untuk secara otomatis mendeteksi kapal yang memasuki taman nasional. Teknologi ini efektif dan dapat mengurangi kebutuhan tenaga pengawas. Uniknya, AI ini dapat membedakan mana gelombang dan gerak burung yang terbang, sehingga meminimalisir pembacaan/deteksi yang salah.

“Sudah lama tidak ada sumber daya yang cukup untuk mengamankan kawasan lindung, dan meminta orang untuk mengawasi begitu banyak kamera,” kata Ian Hoad, penasihat teknis khusus di GRI. “AI dapat menjadi gamechanger, karena dapat memantau penyeberangan kapal ilegal dan segera memperingatkan tim ranger. Teknologi ini telah memungkinkan segelintir penjaga untuk memberikan pengawasan sepanjang waktu terhadap titik masuk ilegal besar-besaran di seberang Danau Itezhi-Tezhi.”

2. Melacak penyusutan air

Brasil telah kehilangan lebih dari 15% air permukaannya dalam 30 tahun terakhir, sebuah krisis yang baru terungkap dengan bantuan AI. Sungai, danau, dan lahan basah di negara itu telah menghadapi tekanan yang meningkat dari pertumbuhan populasi, pembangunan ekonomi, penggundulan hutan, dan dampak buruk dari krisis iklim. Tapi tidak ada yang tahu skala masalahnya sampai Agustus lalu, ketika, penggunaan ML (machine Learning), proyek air MapBiomas merilis hasilnya setelah memproses lebih dari 150.000 gambar yang dihasilkan oleh satelit Landsat 5, 7 dan 8 NASA dari 1985 hingga 2020 di area seluas 8,5 km persegi dari wilayah Brasil. Tanpa AI, para peneliti tidak dapat menganalisis perubahan air di seluruh negeri pada skala dan tingkat detail yang dibutuhkan. AI juga dapat membedakan antara badan air alami dan buatan manusia.

“Teknologi AI memberi kami gambaran yang sangat jelas,” kata Cássio Bernardino, pemimpin proyek air MapBiomas WWF-Brasil. “Tanpa teknologi AI dan ML, kita tidak akan pernah tahu seberapa serius situasinya, apalagi memiliki data untuk meyakinkan orang. Sekarang kita dapat mengambil langkah-langkah untuk mengatasi tantangan hilangnya air permukaan ini terhadap keanekaragaman hayati dan populasi di Brasil.”

3. Menemukan paus

Menemukan paus bungkuk secara visual di lautan luas memang sulit, tetapi nyanyian khas mereka dapat menempuh jarak ratusan mil di bawah air. Di perikanan National Oceanic and Atmospheric Association (Noaa) di pulau-pulau Pasifik, perekam akustik digunakan untuk memantau populasi mamalia laut di pulau-pulau terpencil dan sulit diakses. “Dalam 14 tahun, kami telah mengumpulkan sekitar 190.000 jam rekaman akustik. Dibutuhkan waktu yang sangat lama bagi seorang individu untuk mengidentifikasi vokalisasi paus secara manual,” kata Ann Allen, ahli kelautan penelitian Noaa.

Pada 2018, Noaa bermitra dengan tim bioakustik Google AI for Social Good untuk membuat model ML yang dapat mengenali nyanyian paus bungkuk. “Kami sangat berhasil mengidentifikasinya melalui seluruh dataset kami, menetapkan pola kehadiran mereka di Pulau Hawaii dan Pulau Mariana,” kata Allen.

4. Melindungi koala

Populasi koala Australia mengalami penurunan serius karena perusakan habitat, serangan anjing, kecelakaan di jalan, dan kebakaran hutan. Tanpa mengetahui jumlah dan keberadaan mereka, menyelamatkan spesies tersebut sangatlah sulit. Grant Hamilton, profesor ekologi di Queensland University of Technology (QUT), telah menciptakan pusat AI konservasi dengan pendanaan federal dan Landcare Australia untuk menghitung koala dan hewan langka lainnya. Menggunakan drone dan pencitraan inframerah, algoritme AI dengan cepat menganalisis rekaman inframerah dan menentukan apakah tanda panas itu adalah koala atau hewan lain. Hamilton menggunakan sistem tersebut setelah kebakaran hutan dahsyat di Australia pada 2019 dan 2020 untuk mengidentifikasi populasi koala yang masih hidup, khususnya di Pulau Kanguru.

Algoritme AI mampu menganalisis rekaman video berjam-jam yang tak terhitung jumlahnya dan mengidentifikasi koala dari banyak hewan lain di semak belukar yang lebat. Sistem ini memungkinkan kelompok Landcare, kelompok konservasi dan organisasi yang bekerja untuk melindungi dan memantau spesies untuk mensurvei area yang luas di mana saja di Australia dan mengirimkan data kembali kepada kami di QUT untuk memprosesnya.

“Dalam proyek saat ini, kami tidak dapat melakukan ini secepat atau seakurat tanpa AI,” kata Hamilton.

5. Menghitung spesies

Menyelamatkan spesies di ambang kepunahan di lembah Kongo, hutan hujan terbesar kedua di dunia, adalah tugas besar. Pada 2020, perusahaan ilmu data Appsilon bekerja sama dengan Universitas Stirling di Skotlandia dan badan taman nasional Gabon (ANPN) mengembangkan algoritme klasifikasi gambar AI Mbaza untuk pemantauan keanekaragaman hayati skala besar di taman nasional Lopé dan Waka di Gabon. (M-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat