visitaaponce.com

Perubahan Iklim Rusak Sejumlah Situs Bersejarah di Irak

Perubahan Iklim Rusak Sejumlah Situs Bersejarah di Irak
Pemandangan di kawasan kota kuno di Shingal (Sinjar), Irak.(Unsplash.com/Levi Meir Clancy)

Irak dikenal sebagai tempat lahirnya peradaban. Di sinilah pertanian lahir, beberapa kota tertua di dunia dibangun, seperti ibu kota Sumeria, Ur.  Salah satu sistem penulisan pertama juga dikembangkan di wilayah ini. “Negara ini memiliki puluhan ribu situs dari Palaeolitik hingga era Islam,” jelas Augusta McMahon, profesor arkeologi Mesopotamia di Universitas Cambridge, seperti dilandir The Guardian, baru-baru ini.

“Kerusakan situs-situs seperti Babel (Babylon) yang legendaris akan meninggalkan kesenjangan dalam pengetahuan kita tentang evolusi manusia, perkembangan kota-kota awal, pengelolaan kerajaan, dan perubahan dinamis dalam lanskap politik era Islam,”  tambahnya.

Para ilmuwan khawatir beberapa situs arkeologi makin rusak oleh perubahan iklim karena meningkatnya konsentrasi garam yang menggerogoti bangunan.

Mesopotamia, wilayah di antara dua sungai Irak modern, memang kaya dengan garam (mun dalam bahasa Sumeria) yang ada secara alami di tanah maupun air tanah.  Prasasti atau tulisan kuno di situ menyebutkan profesi pengumpul garam dan menggambarkan penggunaan garamuntuk berbagai kepentingan, mulai dari mengawetkan makanan, hingga perawatan kesehatan, dan ritual.

Makanya ada pepatah Sumeria yang mengatakan kebutuhan dasar hidup adalah roti dan garam.

Merusak bangunan

Dalam beberapa situasi, garam di dalam tanah dapat membantu para arkeolog. Tetapi,  menurut geoarkeolog Jaafar Jothe, mineral yang sama juga dapat merusak dan menghancurkan situs warisan budaya tersebut. “Garam bersifat agresif, ia akan menghancurkan situs, menghancurkan batu bata, dan menghancurkan semuanya”.

Potensi kerusakan semakin meningkat lantaran krisis air yang disebabkan oleh bendungan yang dibangun di hulu oleh Turki dan Iran. Selain itu, selama bertahun-tahun pemerintah Irak juga telah salah dalam mengurus sumber daya air dan pertanian.

“Salinitas di sungai Shatt al-Arab mulai meningkat sejak tahun 90-an,” kata Ahmad NA Hamdan, seorang insinyur sipil yang mempelajari kualitas air di sungai-sungai Irak. Dalam pengamatannya, Shatt al-Arab – dibentuk oleh pertemuan Sungai Tigris dan Efrat, setiap tahunkondisinya terus memburuk, terutama pada 2018, yang ia sebut sebagai tahun “krisis” ketika air payau menyebabkan setidaknya 118.000 orang harus dirawat di rumah sakit. di Provinsi Basra selatan.

Kondisi ini juga diperparah dengan krisis iklim. Irak semakin panas dan kering. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan rata-rata suhu tahunan akan naik 2C pada tahun 2050  yang semakin banyak memicu suhu ekstrem lebih dari 50C, sementara curah hujan akan turun sebanyak 17% selama musim hujan dan jumlah badai pasir dan debu akan lebih dari dua kali lipat. Sementara itu, naiknya air laut mendorong irisan garam ke Irak dan dalam waktu kurang dari 30 tahun, sebagian Irak selatan bisa berada di bawah air.

“Bayangkan 10 tahun ke depan, sebagian besar situs kami akan berada di bawah air asin,” kata Jotheri, seorang profesor arkeologi di Universitas Al-Qadisiyah dan salah satu direktur Jaringan Nahrein Irak-Inggris yang meneliti warisan budaya Irak. Dia mulai melihat kerusakan yang disebabkan oleh garam di situs bersejarah sekitar satu dekade lalu.

Salah satu tempat yang mengalami kerusakan signifikan adalah Babel (Babylon) yang diakui Unesco. Di ibu kota Kekaisaran Babilonia itu, lapisan garam menutupi bata lumpur yang telah berusia 2.600 tahun. Di Kuil Ishtar, dewi cinta dan monument perang Sumeria, dasar temboknya bahkan runtuh. Di kedalaman dinding yang tebal, garam menumpuk sampai mengkristal, mengikis batu bata dan menyebabkannya pecah.

Situs lain yang terkena dampak adalah Samarra, ibu kota era Islam dengan menara spiralnya yang terkikis oleh badai pasir, dan Umm al-Aqarib dengan Kuil Putih, istana, dan pemakamannya yang ditelan gurun.

Tahun ini, Irak kehilangan sebagian dari warisan budayanya. Di tepi gurun, 150km selatan Babel, adalah hamparan garam yang dulunya adalah Danau Sawa. Mata air tersebut adalah rumah bagi setidaknya 31 spesies burung, termasuk bangau abu-abu, dan bebek yang hampir terancam punah. Sekarang, benar-benar kering karena penggunaan air yang berlebihan oleh pertanian di sekitarnya serta perubahan iklim.

Kurangnya penegakan peraturan tentang penggunaan air tanah menyebabkan petani dapat dengan bebas mengebor sumur dan menanam gandum di lanskap gurun yang berdebu.

“Ketika saya masih kecil saya ingat bahwa Danau Sawa adalah sebuah danau besar yang terlihat seperti laut. Tapi kini semuanya hilang. Kami tidak punya danau lagi sekarang,” ujar Jotheri. (M-4)

 

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat