visitaaponce.com

Interpretasi Baru Sang Raja Rock N Roll

Interpretasi Baru Sang Raja Rock 'N Roll
Salah satu adegan film Elvis (2022).(Dok. WarnerBros)

Setelah merilis The Great Gatsby pada 2013, sutradara asal Australia, Baz Luhrmann akhirnya membawa kembali karya terbarunya ke layar perak lewat Elvis. Film yang telah dimulai prosesnya sejak dua tahun lalu itu mengetengahkan perjalanan hidup ikon rock legendaris Elvis Presley (Austin Butler) dengan fokus pada hubungan toksiknya dengan sang manajer, Kolonel Tom Parker (Tom Hanks). 

Sejak awal hingga akhir, Elvis seperti montase kehidupan sang megabintang dimulai dari ia mengenal musik gospel di kultur gereja komunitas kulit hitam, menjadi bintang tur dari karnaval country-nya, bertransformasi sebagai bintang, titik kritis, hingga ‘perpisahan’-nya dalam pertunjukan spesial di International Hotel di Las Vegas.

Seperti film-film Luhrmann lain (Moulin Rouge!, Great Gatsby). Elvis memuaskan secara keindahan visual, memiliki tempo cepat, dan pola penyuntingan dinamis. Di film ini, ia menyematkan potongan-potongan panel layaknya grafis komik, yang tampaknya untuk merujuk ke tokoh Marvel favorit Presley, Captain Marvel. Grafis teks yang muncul juga tampil dalam gaya-gaya lawas untuk merujuk filmografi Presley.

Di sisi lain, Luhrmann, sebagai salah satu penggemar Elvis, kelihatannya berupaya memasukkan pembabakan kehidupan Elvis di tiap periodesasi. Sayangnya, Luhrmann juga terkadang memiliki fokus sendiri untuk historiografi sang bintang. 

Goyang pinggul Elvis yang memantik gegar budaya AS pada masa itu dan gaya musiknya yang dikritik lantaran bercorak dari latar belakang komunitas kulit hitam kurang tersampaikan. Momentum krusial itu hanya dijadikan sebagai bagian kecil dari perjalanan Elvis. 

Atau bagaimana simpatinya terhadap tokoh-tokoh kulit hitam seperti Martin Luther King yang tewas ditembak, hanya digambarkan lewat adegan Elvis yang menontonnya lewat televise dan menjadi murung. Padahal semasa kecil, Elvis hidup bersama komunitas kulit hitam. Ia juga berkarib dengan musikus BB King. Luhrmann mestinya bisa melakukan interpretasi yang lebih jauh untuk memperlihatkan humanisme karakter yang diceritakannya.

Sementara itu, Kolonel Tom Parker yang diperankan dengan apik oleh Hanks juga agak disia-siakan. Memang penempatannya sebagai antagonis utama di film ini terbangun. Tapi momen-momen yang intim antara Elvis dengannya, atau bagaimana situasi kritis sang manajer, juga kurang terepresentasi meski secara gambaran besarnya, kit mampu menangkap bagaimana beracunnya hubungan kedua tokoh ini. Sayang, lagi-lagi Luhrmann kurang mampu mengeksploitasi sisi humanisme antarkarakter.

Bisa jadi, jika Luhrmann menjadikan Elvis sebagai film yang berkisah lebih jauh tentang Tom Parker dengan Presley sebagai side-kicknya, akan memberikan perspektif narasi yang lebih jernih. Plus secara bentuk juga punya daya tawar yang lebih berbicara sebagai film yang mengulas hidup sang ikon rock dan warisannya hingga kini. 

Film Elvis tayang di jaringan bioskop Indonesia mulai 24 Juni. Pertama kali tayang di Cannes Film Festival 2022 dalam program non-kompetisi. (M-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat