visitaaponce.com

Keseringan Mengecek Medsos dapat Memengaruhi Perubahan Otak pada Remaja

Keseringan Mengecek Medsos dapat Memengaruhi Perubahan Otak pada Remaja
ilustrasi: pengguna smartphone(unsplash.com/Luke Porter)

Sebuah studi terbaru dari ilmuwan ahli saraf University of North Carolina di Chapel Hill mengungkapkan hubungan antara intensitas seseorang mengecek situs media sosial (Facebook, Instagram, dan Snapchat) dengan perubahan perkembangan otak fungsional pada remaja atau siswa sekolah menengah antara usia 12 dan 15 tahun,

Penelitian yang dipublikasikan secara daring di JAMA Pediatrics itu menemukan bahwa kebiasaan yang selalu memeriksa media sosial pada remaja dapat dikaitkan dengan perubahan kepekaan otak terhadap penghargaan dan hukuman sosial dari orang lain.

Tim menggunakan pemindaian otak yang disebut pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI), mereka menemukan bahwa anak-anak yang terbiasa memeriksa umpan media sosial pada usia sekitar 12 tahun menunjukkan tingkat kepekaan mereka terhadap penghargaan sosial meningkat dari waktu ke waktu.

"Kita tahu bahwa masa remaja adalah salah satu periode paling penting untuk perkembangan otak. Ia mengalami lebih banyak perubahan dalam reorganisasi kedua setelah yang kita lihat pada masa bayi," kata penulis utama studi Eva Telzer, yang merupakan profesor psikologi dan ilmu saraf seperti dilansir dari Jama Network pada Kamis (5/1).

Masa remaja menjadi periode yang penting dan dramatis bagi perkembangan otak manusia, khususnya di daerah otak yang merespons penghargaan sosial. Secara umum penghargaan sosial tidak terbatas pada situs media sosial, bisa berupa umpan balik tatap muka yang positif dari teman sebaya dalam interaksi sehari-hari. Namun, belakangan penghargaan sosial di kalangan anak-anak muda lebih didominasi melalui sosial media.

Penelitian lain menemukan bahwa beberapa remaja hampir selalu menggunakan ponsel, memeriksa media sosial mereka setidaknya setiap hari. Dalam studi yang dilakukan selama tiga tahun, tim Telzer merekrut 169 siswa kelas enam dan tujuh dengan beragam ras, gender dan berasal dar tiga sekolah menengah negeri di pedesaan Carolina Utara.

Para responden melaporkan seberapa sering mereka memeriksa ketiga platform media sosial tersebut, nantinya para peneliti menggunakan informasi ini untuk membuat skala. Hasil akhir menunjukkan ternyata polanya bervariasi mulai dari kurang satu kali sehari atau hingga lebih dari 20 kali sehari. .

Respons yang merupakan pengguna media sosial biasa melaporkan mereka memeriksa umpan media sosial mereka 15 kali atau lebih dalam sehari, sedangkan pengguna sedang memeriksa antara satu dan 14 kali, dan pengguna nonhabitual memeriksa kurang dari sekali sehari.

Kemudian responden menjalani pemindaian otak fMRI. Mereka menerima pemindaian otak penuh tiga kali, kira-kira dengan interval satu tahun. Hasilnya, remaja yang lebih sering memeriksa media sosial menjadi hipersensitif terhadap umpan balik dari teman sebayanya.

"Temuan tidak menangkap besarnya perubahan otak dan tidak jelas apakah perubahan itu bermanfaat atau berbahaya," jelas Telzer.

Peran Orang Tua

Telzer mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa remaja yang tumbuh terus menerus memeriksa media sosial mereka menjadi sangat sensitif terhadap umpan balik teman sebaya. Otak mereka semakin banyak merespons selama bertahun-tahun terhadap umpan balik penghargaan sosial yang mereka antisipasi.

Sekalipun menemukan ada perubahan, penelitian ini belum bisa memprediksi dampaknya bagi masa depan anak-anak. "Ini berpotensi membuat otak menjadi semakin sensitif terhadap umpan balik sosial dan ini bisa berlanjut hingga dewasa," kata Telzer.

Menurutnya, kepekaan sosial dapat bersifat adaptif dan menunjukkan bahwa remaja sedang belajar berhubungan dengan orang lain. Namun, kondisi ini juga dapat menyebabkan kecemasan sosial dan depresi jika kebutuhan sosial tidak terpenuhi.

Para peneliti melihat, perubahan otak pada remaja bisa mempromosikan perilaku media sosial yang kompulsif atau adiktif. Namun, mereka juga mencerminkan adaptasi yang membantu remaja menavigasi dunia digital yang semakin meningkat.

"Kami tidak tahu apakah ini baik atau buruk. Jika otak beradaptasi dengan cara yang memungkinkan remaja menavigasi dan merespons dunia tempat mereka tinggal, itu bisa menjadi hal yang sangat baik," kata Telzer.

Namun, jika itu menjadi kompulsif dan membuat ketagihan serta menghilangkan kemampuan mereka untuk terlibat dalam dunia sosial mereka, hal itu berpotensi menjadi tidak adaptif.

Akan tetapi, orangtua bisa berperan dalam membantu anak remaja mereka dengan memupuk aktivitas yang membawa kegembiraan di luar kegiatan media sosial, misalnya olahraga, seni, atau menjadi sukarelawan.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat