visitaaponce.com

Metode Akting a la Arswendy Bening

Metode Akting a la Arswendy Bening
Arswendy Bening (kiri)(KawanKawan Media)

Dalam setidaknya kurun setahun terakhir, nama Arswendy wara-wiri di film-film yang mendapat pengakuan kritis dan laris. Ia muncul baik sebagai pemeran utama maupun tituler.

Aktor senior Arswendy Bening Swara sudah lama mendalami keaktoran. Ia menempuh pendidikan seni peran di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada medio 1978-1982. Lalu dirinya bergabung dengan Teater Mandiri bentukan Putu Wijaya.

Filmografinya, sudah sejak 1985-an. Ketika itu ia bermain di Opera Jakartanya Sjuman Djaya. Melintas zaman hingga kini, bermain bersama beberapa aktor muda seperti Kevin Ardilova di Autobiography. Atau dengan para pelawak tunggal di Ngeri-ngeri Sedap, dan bersama aktris yang sama-sama punya latar belakang teater, Happy Salma, di Nana (Before, Now & Then). Tiga film yang dibintangi Arswendy itu, semuanya masuk nominasi film terbaik FFI 2022. Wendy juga dinominasikan aktor pendukung terbaik untuk perannya sebagai Purnawinata, pensiunan jenderal di film Autobiography. Atas perannya di film itu pula, ia dianugerahi aktor terbaik di Marrakech International Film Festival 2022, yang jurinya diketuai oleh sutradara Italia Paolo Sorrentino.

Dalam berakting, Arswendy mengatakan di zaman yang serba cepat saat ini ia pun mencoba untuk beradaptasi dengan kecepatan untuk memerankan karakter. Artinya, dalam mendapatkan referensi dan observasi, dilakukan dengan lebih tangkas.

“Saya berpegang pada prinsip yang diajarkan guru saya, Putu Wijaya. Desa, kala, patra. Artinya, tempat, waktu, dan situasi/keadaan. Tempat itu pengertiannya ada di banyak hal, di mana saya bermain, di film mana. Lalu kapan waktunya, dan apa situasinya. Saya mencoba mengadaptasi itu menjadi metode akting saya,” kata Arswendy saat berbincang dengan Media Indonesia di sela pemutaran film Autobiography sesi media di XXI Epicentrum Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (17/1).

Di samping menerapkan metode tersebut, dalam berakting Wendy juga menerapkan metode seperti yang diterapkan para seniman di disiplin seni rupa, ATM (amati, tiru, dan modifikasi). Ia kerap kali memosisikan dirinya sebagai desainer.

“Dalam tokoh di film Autobiography misalnya, ada tokoh-tokoh jenderal lama yang saya amati. Saya tanggapi pemikirannya. Dan dari proses tersebut, saya menemukan, semua jenderal itu manusia. Dan semua manusia nyaris tidak sanggup memegang kekuasaan yang diberikan,” lanjut Wendy.

Dalam proses keaktorannya, ia mengaku juga banyak belajar dari para seniman panggung seperti para aktor Srimulat. Sebagai aktor yang juga berangkat dari disiplin teater, ia memiliki prinsip karakter itu harus berkembang.

“Berkembang dalam artian bertumbuh, bukan berubah. Ketika karakter itu bertumbuh, artinya aktor tahu kapan harus berhenti. Seperti di proses Autobiography, saya reading dua tahun bareng Makbul (sutradara). Pertama untuk pilot projectnya, teaser, dan itu karakter saya terus berkembang. Misal ada yang dirasa tidak enak, lalu intropeksi, tanyakan ke diri sendiri.”

“Dan saya juga tidak mau meniru jenderal yang sudah ada. Saya ambil sedikit-sedikit. Ada yang lirikannya, senyumannya, dan anggukannya. Makanya saya sebut desainer itu tadi,” lanjutnya.

Itu semua bisa dilakukan oleh semua aktor dengan cara melatih diri. Dan untuk berlatih, butuh waktu hingga ke tahap ‘menjadi.’ Sebab itu, kata Wendy, aktor itu harus berani ‘bunuh diri’ untuk menjadi karakter yang diperankan.

Kesetiannya sebagai aktor, disebut Wendy karena ia menemukan keasyikan khusus. Ia bisa menjadi siapa pun, yang tidak bisa dilakukannya dalam keseharian. Menurutnya, ia bisa mengabulkan cita-cita melalui karakter.

“Tentu tidak selamanya kita beruntung mendapatkan karakter yang diinginkan. Saya terima saja apa pun karakternya, tidak pernah memilih. Namun apakah karakter tersebut bisa bertumbuh dengan baik, atau dia berhenti di situ saja?”

Ia juga menyinggung perihal kebintangan dan keaktoran. Ada yang memang secara khusus mempelajari keaktoran selama bertahun-tahun, tetapi ada juga yang bermula dari kebintangan.

“Pertama harus dibedakan antara aktor dan bintang. Aktor bisa datang dari mana-mana, bintang juga. Dan tidak selalu aktor yang sekolah bertahun-tahun juga harus jadi aktor. Tapi kadang-kadang ada yang kayak sulap. Baru pertama main ‘klek,’ ‘klek,’ langsung jadi. Memang dia berbakat. Siapa yang mengolah bakat itu, kita tidak tahu. Dan jadi bintang. Tapi ada juga yang dari bintang menjadi aktor, atau sebaliknya. Dua hal itu yang mesti dijungkirbalikkan.” (M-2) 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat