visitaaponce.com

Film Pesantren , Ungkap Realita Kehidupan Santri dengan Perspektif Gender

Film “Pesantren” , Ungkap Realita Kehidupan Santri dengan Perspektif Gender
Cuplikan adegan fim Pesantren(MI/Devi Harahap)

Setelah mengikuti berbagai festival film di luar negeri dan penayangan di bioskop pada akhir 2022 lalu, film dokumenter “Pesantren” garapan sutradara Shalahuddin Siregar secaea resmi tayang di platform streaming Bioskop Online mulai 24 Mei 2023.

Film berdurasi 102 menit itu mengajak para penonton menyusuri kehidupan sehari-hari dari para santri yang ada di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy Cirebon, Jawa Barat. Sebuah pesantren bergaya tradisionalis yang dipimpin oleh seorang perempuan tangguh, Nyai Masriyah Amva.

Ditemui Media Indonesia pada acara press conference dan screening film “Pesantren” di Masjid Sunda Kelapa, Menteng pada Kamis (25/5), Shalahuddin mengungkapkan alasannya memilih Pondok Kebon Jambu Al-Islamy sebagai objek pembuatan film tak lain karena ia ingin mengangkat nilai-nilai sosial dan budaya seperti perspektif gender dalam lingkungan pesantren.

“Hanya di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy yang kajian tafsir-tafsirnya membahas Islam dari sudut pandang isu perempuan, lalu saya juga mempertanyakan bagaimana jika sebuah pesantren tradisional dipimpin oleh seorang perempuan,” jelas pria yang kerap disapa Udin itu.

Selain itu, Udin juga merasa pondok pesantren ini pantas untuk disorot karena sistem pendidikannya yang menerapkan nilai keberagaman, kesetaraan, dan memanusiakan manusia. Saat proses produksi film selama 90 hari, Udin mengatakan timnya diberi kebebasan oleh pihak pondok dalam menentukan sudut cerita hingga isu yang dibahas di dalam film.

“Dari isi filmmaker kebebasan itu tentu sangat penting. Ada beberapa isu sensitif yang kami hadirkan dalam film misalnya topik tentang bagaimana Islam memandang anjing, tetapi setelah dilihat oleh Ibu Nyai, beliau berkata ‘oh bagian ini jangan dihapus, justru bagus sekali’ kami sangat diberi keleluasaan dalam memasukkan topik tertentu, kami juga diizinkan untuk syuting di asrama santri putri,” ungkap pria yang juga berperan sebagai produser film.

Benar saja, film yang digarap tahun 2017 itu menghadirkan beberapa isu sensitif yang masih terus menjadi pro dan kontra bagi sebagian kaum muslim Indonesia. Tak hanya tentang kedudukan anjing dalam Islam, film yang telah diputar di Madani International Film Festival dan The University of British Columbia itu juga mengangkat isu terkait relasi Islam dan PKI, bagaimana Islam memandang musik dan kesenian, hingga fenomena masyarakat yang mudah mengharamkan dan membit’ahkan sesuatu.

Akan tetapi, film Pesantren secara keseluruhan banyak membahas terkait kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki di dalam ruang lingkup pendidikan Islami. Pada awal film, penonton disuguhkan dengan obrolan antara dua orang santri putri terkait kedudukan perempuan dan laki-laki dalam di dalam Islam dan seperti apa ajaran itu diimplementasikan di lingkungan pondok pesantren.

Tak hanya itu, film juga menampilkan beberapa sistem pembelajaran antara guru dan murid yang membahas isu gender, apakah perempuan bisa menjadi pemimpin dan seperti apa pola relasi laki-laki dan perempuan di dalam pesantren. Semua itu disajikan dengan sangat natural.

Inspirasi Awal

Rasa ingin tahu Shalahuddin Siregar terhadap kehidupan pesantren sudah terpikirkan sejak 2012 saat menggarap film pendek perdananya yang berjudul Negeri di Bawah Kabut. Di mana salah satu karakter di dalamnya adalah seorang anak yang gagal bersekolah di negeri dan terpaksa masuk pesantren karena kekurangan biaya.

“Salah satu karakter di film dokumenter panjang pertama saya Negeri di Bawah Kabut adalah anak 12 tahun bernama Arifin yang ingin masuk SMP Negeri, tetapi orang tuanya tidak mampu menyekolahkan ke sekolah negeri.

Akhirnya mereka mengirim Arifin ke pesantren. Namun ada orang-orang yang menyayangkan keputusan mengirimkan Arifin ke pesantren karena mereka mengira dia akan dididik menjadi teroris. Shalahuddin menjadi terpantik mengetahui saat itu masih banyak stigma terkait pesantren yang dihubungkan pada radikalisme dan kekerasan seksual.

“Saya merasa terganggu dengan stigma itu, jadi setelah 2012 saya berusaha mencari bagaimana caranya supaya bisa membuat film tentang pesantren. Saya merasa kita sebenarnya tidak pernah benar-benar mengenal kehidupan dalam pesantren secara langsung,” katanya.

“Jadi motivasinya lebih ke bagaimana kita mengenal mereka dulu, baru kita memberi mereka label apapun yang menurut kita perlu,” lanjut pria berdarah Batak itu.

Sebelum tayang di Indonesia, film Pesantren telah masuk dalam kompetisi XXI Asiatica Film Festival 2020 dan terpilih di International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2019.(M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat