visitaaponce.com

Tinggal di Pinggiran Kota belum Tentu Bebas Depresi

Tinggal di Pinggiran Kota belum Tentu Bebas Depresi
Ilustrasi: Kemacetan di Jalan Margonda Raya, Depok( ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/aww.)

Keadaan hiruk pikuk kota yang sangat sibuk, ramai, padat, dan lekat dengan kriminalitas yang tinggi kerap kali membuat sebagian besar orang berpikir bahwa pindah tempat tinggal dari wilayah pusat kota ke wilayah pinggiran kota merupakan solusi ideal untuk membuat hidup lebih bahagia dan sehat.

Akan tetapi, hasil penelitian ternyata tidak sepenuhnya sejalan dengan pemikiran tersebut. Sebuah studi terbaru dari Universitas Yale, Amerika Serikat mengungkapkan fakta baru bahwa mereka yang tinggal di pinggiran kota justru berisiko mengalami depresi lebih besar.

Penelitian yang diterbitkan di jurnal Science Advances itu mengungkapkan bahwa depresi disebabkan karena jumlah penduduk di pinggiran kota lebih sedikit bahkan sepi, sehingga  dapat mengurangi kesempatan seseorang untuk bersosialisasi dan mendapatkan rasa kebersamaan. Hal ini berdampak mengurangi tingkat kesehatan mental.

Peneliti utama Dr Karen Chen mengatakan banyak faktor penentu lingkungan yang dapat memengaruhi anjloknya kesehatan mental jika tinggal di pinggiran kota.  “Orang-orang di pinggiran kota akan cenderung malas bepergian karena jarak tempuh yang jauh. Akhirnya mereka jarang pergi ke toko-toko lokal, restoran dan kafe, seperti yang mereka lakukan di kota untuk sekadar menyegarkan pikiran,” jelasnya seperti dilansir Daily Mail UK , pada Selasa (6/6).

Tim peneliti internasional ini menggunakan citra satelit dan kecerdasan buatan untuk memetakan pertumbuhan wilayah perkotaan di Denmark selama 30 tahun. Kemudian, mereka menganalisis lebih dari 75.000 penduduk yang mengalami depresi dan lebih dari 750.000 penduduk yang tidak mengalami depresi, dengan memperhatikan lokasi dan prevalensi penyakit mental per kapita.

Meskipun geografis pedesaan tampaknya tidak meningkatkan risiko terkena depresi, orang-orang di wilayah pinggiran kota dengan kondisi padat dan tidak memiliki ruang terbuka hijau, justru memiliki risiko paling tinggi terkena depresi.

Para peneliti menyimpulka seseorang yang tinggal di pinggiran kota seperti itu memiliki risiko 10-15 % lebih tinggi untuk menderita depresi dibandingkan dengan penduduk di pusat kota.

“Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi yang jelas bahwa daerah pusat kota yang padat berdampak pada depresi. Hal ini mungkin karena pusat kota yang padat dapat memberikan lebih banyak kesempatan untuk berjejaring sosial dan berinteraksi yang mungkin bermanfaat bagi kesehatan mental,” ujar Chen seperti dilansir dari New York Post.

Menurut Chen tingkat kepadatan tertentu yang tertata di wilayah perkotaan sangat diperlukan untuk menciptakan komunitas yang hidup sehingga dapat mendukung bisnis dan transportasi umum. Sementara pada saat yang sama memungkinkan sebuah restorasi dengan manfaat ruang terbuka. “Hal ini menunjukkan betapa manusia memang diciptakan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan banyak orang,” kata Chen.

Penelitian ini juga menambahkan bahwa secara umum, mereka yang tinggal di gedung-gedung setinggi lebih dari 10 meter seperti rumah susun, akan minim mengalami depresi dibandingkan dengan mereka yang tinggal di rumah-rumah tapak di wilayah pinggiran yang sepi. Alasannya, mereka yang tinggal apartemen atau rusun masih dapat bersosialisasi, ketimbang mereka yang di desa terpencil. (M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat