visitaaponce.com

Imajinasi Cinta Nana

Goresan garis berbentuk abstrak itu terlihat begitu liar, cerah, dan ekspresif meskipun dibalut dengan latar warna hitam pekat. Pada sudut kirinya, terlihat sebuah simbol musik yang diikuti beberapa rupa abstraksi dari sepasang figur pria dan wanita dengan dipenuhi oleh gambar cinta atau “love” pada berbagai sudutnya.

Simbol cinta yang bertebaran itu seolah seperti menjadi tanda betapa ia selalu hadir dalam setiap orang. Meski demikian, perpaduan warna-warna gelap dan terang itu mencerminkan bahwa cinta  juga emosional dan dinamis.

Pemandangan itu bisa dilihat dalam sebuah lukisan berjudul “Finally I Found You” (2023) karya Nana Tedja, yang kini dipajang dalam pameran solonya bertajuk “Love is Happiness" yang berlangsung hingga 5 Agustus 20023  di Art:1 Artspace Jakarta.

Pada pameran tunggalnya yang kedua kalinya di Art1 ini, judulnya sengaja dipilih sendiri oleh Nana, “Love is Happiness”. Bunyi judul itu untuk mem-framing tema-tema lukisannya yang dipersiapkan mulai awal tahun 2023 bekerja di studionya, berkisah seputar imajinya tentang cinta.

“Cinta bagi seorang Nana sebenarnya luas dan dalam, karena itu, dia ingin orang-orang yang menyaksikan lukisannya tidak sekedar melihat visualisasinya saja, tapi berharap emosi mereka juga turut terlibat,” ujar Tamira Rachmaheni, Manager Art:1 Artspace, saat ditemui Media Indonesia di Jakarta Selasa, (17/7).

Melihat 23 karya yang terdiri dari lima belas (15) lukisan abstrak dan delapan (8) Patung dengan berbagai ukuran itu, seperti melihat bahwa cinta merupakan representasi diri yang begitu jujur dan apa adanya. Garis-garis yang menjadi kekuatan dalam seluruh karya Nana seperti digores dengan tujuan agar siapa pun bisa menyelami imajinasinya.

Selain “Finally I found You My Love”, jika dilihat lebih saksama, lukisan abstrak yang lainnya juga memiliki sentuhan atau tone yang hampir sama dengan dominasi warna ekspresif yang vibrant, misalnya kuning, jingga, atau oranye hingga merah muda. Hal itu terlihat dalam lukisan bertajuk “Sun Rise” (2023).

Uniknya, perupa lulusan pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jurusan Seni Lukis itu juga memakai caranya dalam melukis seperti menulis sebuah cerita pendek (kebiasaan yang pernah ia lakukan sebelumnya menulis cerpen untuk sebuah buku dan drama sinetron yang tayang di televisi), penuh dengan dialog.

Pada ruangan lain, terlihat lukisan berjudul “Man Behind The Gun” (2023) yang didominasi warna biru, kuning dan merah yang seimbang. Warna biru digoreskan di sisi tengah dan kanan kanvas, membentuk bidang-bidang datar tak beraturan. Sementara warna biru dan kuning digoreskan di bagian atas dan bawah, seperti hampir melingkup warna merah.

Graffiti

Lewat garis-garis itu, terlihat seperti ada gambar rupa dan senjata yang seolah sedang berontak secara tegas dan kuat. Lukisan itu seolah seperti menggambarkan bahwa cinta itu terlalu halus untuk hanya dibicarakan saja oleh para pendambanya, terlalu berharga untuk hanya dikelola dan dimimpikan oleh mereka yang rela tergila gila.

“Nana mempunyai ciri khas yang bersifat tumpuk atau berlapis sehingga membuat lukisannya semakin menarik dan berbeda. Karakter itu juga secara tidak langsung seperti menyuguhkan cerita di balik tarikan garis dan goresan warna yang dilukiskannya,” ujar Tamira.

Sementara itu, daya artistik kekuatan garisnya lukisan Nana dalam pameran ini cenderung mendekat pada nalar graffiti di dinding -dinding kota. Nalar graffiti yang masih dikerjakan para pegiat yang bersuara lantang di jalanan dengan material serb terbatas.

Namun, estetika yang dihasilkan mereka justru lebih otentik, daya artistiknya pun masih apa adanya. Hal ini berbeda dengan nalar karya graffiti yang belakangan sudah diambil alih dan dilembagakan oleh dunia seni rupa menjadi karya-karya yang cenderung terpola, garisnya rapi-rapi, tampak bersih dan warna-warni, kehilangan keaslian kerasnya bersuara di jalanan yang apa adanya.

“Keliaran yang muncul pada visualisasi lukisan Nana tidak hanya tampak pada kesan kekanak-kanakan garisnya saja, melainkan juga warna-warna yang dibubuhkan-perpaduan antara penggunaan warna akrilik, oil bar dan semprotan pilox,” imbuh Tamira.  

Secara keseluruhan, pameran Love is Happiness diolah menjadi sebuah suasana yang romantik dan dramatik seperti realita cinta di antara dua sosok abstrak yang saling bersembunyi di bilik perasaannya. Meskipun demikian, lukisan dan patung yang ditampilkan tetap terlihat energik, mendalam, menjiwai secara lahir batin.(M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat