visitaaponce.com

Oetzi, si Manusia Es, Diyakini Berkulit Lebih Gelap dari yang Diperkirakan

Oetzi, si Manusia Es, Diyakini Berkulit Lebih Gelap dari yang Diperkirakan
Rekonstruksi penampilan Ötzi si Manusia Es di Museum Arkeologi Tyrol Selatan(smithsonian magazine)

Suatu hari di Bulan September 1991, dua orang pendaki Jerman menemukan sesosok jenazah yang terperangkap dalam es. Peristiwa itu terjadi di Pegunungan Alpen Oetztal, wilayah utara Italia di ketinggian 3.210 meter (10.500 kaki) di atas permukaan laut.

Berdasarkan lokasi temuan itu, sang mayat ini kemudian diberi nama Oetzi, mumi "manusia es" dari Pegunungan Alpen. Pria ini diperkirakan tewas lebih dari 5 ribu tahun silam.

Sejak mayatnya ditemukan, para ilmuwan telah menggunakan teknologi tinggi, diagnostik non-invasif, dan pengurutan genom untuk menguak masa lalu Oetzi, yang misterius.

Baru-baru ini, sebuah studi yang dilakukan para ilmuwan dari Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology menyatakan Oetzi memiliki kulit lebih gelap dari yang diperkirakan sebelumnya dan kemungkinan besar botak atau hampir botak ketika dia meninggal.

Menurut tim peneliti dia juga kemungkinan besar berasal dari kelompok yang relatif terisolasi dengan sedikit kontak dengan orang Eropa lainnya, dan memiliki nenek moyang yang datang langsung dari Anatolia.

Analisis awal genomnya sebelumnya menunjukkan bahwa si manusia es ini memiliki jejak genetik berasal dari komunitas penggembala stepa dari Eropa timur.

Namun, para ilmuwan Max Planck mengatakan hasil terbaru tidak lagi mendukung temuan ini.

Sebaliknya, mereka percaya sampel asli telah terkontaminasi dengan DNA modern yang menyebabkan temuan yang salah.

Kemajuan teknologi juga memungkinkan untuk melihat lebih spesifik ke masa lalu Oetzi.

“Di antara ratusan orang Eropa awal yang hidup pada waktu yang sama dengan Oetzi dan yang genomnya sekarang tersedia, genom Oetzi memiliki lebih banyak kesamaan nenek moyang dengan petani Anatolia awal daripada rekannya di Eropa," kata tim peneliti dari  institut tersebut.

Nyaris botak

Johannes Krause, kepala Departemen Arkeogenetik di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology yang ikut menulis penelitian tersebut, mengatakan bahwa timnya sangat terkejut tidak menemukan jejak penggembala stepa Eropa timur dalam analisis terbaru dari genom sang mayat.

“Proporsi gen pemburu-pengumpul dalam genom Oetzi juga sangat rendah. Secara genetik, nenek moyangnya sepertinya datang langsung dari Anatolia tanpa bercampur dengan kelompok pemburu-pengumpul,” ujarnya.

Oleh karena itu, para ilmuwan percaya bahwa dia mungkin berasal dari populasi yang relatif terisolasi yang memiliki sedikit kontak dengan kelompok Eropa lainnya.

Tim mengatakan ide sebelumnya tentang penampilan manusia es mungkin juga tidak akurat. “Para ilmuwan sebelumnya mengira kulit Oetzi menjadi gelap karena terperangkap dalam es, tetapi itu mungkin sebenarnya adalah warna kulit aslinya,” kata tim tersebut.

Gen Oetzi juga menunjukkan bahwa ia cenderung botak bukan memiliki rambut panjang dan tebal. Para peneliti yakin kebotakan itu ia alami saat dewasa.

“Ini adalah hasil yang relatif jelas dan juga bisa menjelaskan mengapa hampir tidak ada rambut yang ditemukan pada mumi tersebut,” kata antropolog Albert Zink, rekan penulis studi tersebut.

Dalam penelitian sebelumnya selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah menetapkan bahwa Oetzi meninggal kira-kira pada usia 45 tahun, tingginya  sekitar 1,60 meter (lima kaki, tiga inci), dan beratnya 50 kilogram (110 pon).

Oetzi tewas secara tragis. Sebilah panah mengoyak pembuluh darah utama antara tulang rusuk dan tulang belikat kirinya. (AFP/M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat