visitaaponce.com

Gender Shaming Masih Ditemui di Tempat Kerja

GENDER shaming atau biasa disebut Seksisme merupakan perilaku diskriminasi atau merendahkan orang lain berdasarkan gender yang dimiliki. Perilaku ini rupanya juga rentan ditemukan di dalam lingkungan kerja yang mayoritas didominasi oleh pria.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyoroti bahwa masih banyak hambatan yang dialami perempuan di dunia kerja, termasuk stereotipe dan seksisme yang menjadi akar diskriminasi berbasis gender sehingga pemerintah terus berusaha memastikan perlindungan dan pemenuhan hak pekerja perempuan. 

Ia mengatakan, meski partisipasi kerja perempuan di dunia kerja sudah jauh meningkat tapi hal itu tidak berarti langsung menimbulkan kesetaraan gender di tempat kerja

"Masih banyak hambatan yang harus dihadapi perempuan untuk bisa kuat berdaya di dunia kerja, kita bisa mulai melihat dari beban ganda yang dihadapi perempuan hingga kekerasan dan pelecehan di tempat kerja," katanya dalam diskusi tentang ‘gender shaming’ atau seksisme di dunia kerja yang diadakan PLN Peduli, kemarin.

Ida menjelaskan, salah satu faktor penghambat itu adalah masih adanya gender shaming atau stereotipe dan seksisme yang menjadi akar diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan. Perilaku tersebut sering kali membuat perempuan diremehkan di tempat kerja, bahkan masih ada yang persepsi pekerja perempuan memiliki produktivitas yang lebih rendah dibanding lawan jenisnya.

"Ini tentunya kontra produktif dengan tujuan kita semua untuk terus meningkatkan pemberdayaan perempuan di dunia kerja, agar bisa memberikan dampak positif pada perekonomian dari level individu, keluarga hingga perekonomian secara nasional," katanya.

Untuk itu, pemerintah lewat Kemenaker terus berkomitmen mendukung perempuan berdaya di tempat kerja salah satunya dengan melindungi dan memberikan rasa aman akan pemenuhan hak-haknya.

Beberapa hak itu seperti di yang bersifat protektif seperti di bidang reproduksi dengan hak cuti haid, hamil, dan keguguran. Kebijakan korektif seperti larangan pemutusan hubungan kerja bagi perempuan karena menikah, hamil atau melahirkan.

“Selain itu terdapat pula kebijakan non-diskriminatif di mana pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan dari praktik diskriminasi dan ketidakadilan gender di tempat kerja,” lanjut dia.

Ketua Srikandi PLN Chairani Rachmatullah mengatakan, sejak PLN berdiri hingga sekarang memang tidak ada kebijakan membeda-bedakan gender dari managemen. Gender shaming pun tidak tumbuh di dalam lingkungan kerja.

“Kita lihat kontribusi pegawai PLN terlihat dan didukung oleh managemen untuk mencegah gender shaming di lingkungan kerja ini, bahkan kami dari srikandi PLN juga aktif membuat seminar tetang sciences enginering atau kerjasama lainnya demi meningkatkan kompetensi kerja para srikandi,” ungkap Rani.

Menurut dia, demi menghindari gender shaming perempuan juga harus menunjukan kompetensi diri. Bahkan, pegawai perempuan PLN ada yang ikut serta dalam pendirian tower darurat di NTT pasca kejadian gempa bumi beberapa tahun lalu.

“Jadi tidak mentang-mentang kita perempuan tidak ada di lapangan misalnya. Sekarang ekosistem kerja di proyek pun sudah jauh lebih memperhatikan eksistensi perempuan dengan membedakan peruntukan kamar mandi. Hal ini tentu juga menambah kenyamanan kerja perempuan saat di lokasi proyek,” jelas dia.

CEO Buttonscarves Linda Anggrea menambahkan, berbeda dengan lingkup kerja di perusahaan lain lingkungan kerja di perusahaan rintisan fashion wanita ini memang didominasi oleh 80% pekerja perempuan. Namun, dengan dominasi jumlah ini tidak serta merta membuat pekerja Buttonscarves over power.

“Semangat kerja di Buttonscarves sendiri sebetulnya women empowerment di mana awalnya kami mempekerjakan ibu-ibu sekitar tempat tinggal buat dapat uang tambahan dengan bergabung kerja menjadi quality controller produk Buttonscarves, dari situ kami menanamkan bahwa dari rumah aja kita bisa berdaya bareng, tentunya harus didukung dengan lingkungan yang mendukung,” kata dia.

Ketua Umum Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) Nita Yudi menambahkan, para anggota di organisasi yang Ia pimpin sering kali dibekali dengan kecakapan yang akan membuat para anggota percaya diri untuk menunjukan kompetensi mereka. Sehingga tidak ada orang yang bisa memandang sebelah mata loyalitas kerja perempuan.

“Kami pun sering kali meminta pendapat para ahli soal petunjuk-petunjuk bidang hukum untuk membekali diri dengan pengetahuan seputar hal tesebut. Kalau ada anggota yang bermasalah hukum pun akan kita arahkan kemana untuk mengadu. Sedangkan kompetensi diri memang dibangun dengan tujuan agar kita bisa setara dan membuat perusahaan lebih maju lagi,” tandas dia. (Gan/S2-25)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat