visitaaponce.com

Penutupan Silicon Valley Bank Bikin Perbankan dan Industri Startup Lebih Berhati-hati

Penutupan Silicon Valley Bank Bikin Perbankan dan Industri Startup Lebih Berhati-hati
Logo Silicon Valley Bank(AFP/Noah Berger)

PENUTUPAN Silicon Valley Bank (SVB) oleh regulator Amerika Serikat pada Jumat (10/3), menjadi peringatan bagi perusahaan rintisan (startup).

SVB dikenal sebagai Bank yang fokus kepada pembiayaan perusahaan teknologi dan startup. Bank ini memiliki aset sekitar US$209 miliar dan deposito US$175,4 miliar. SVB dinyatakan sebagai bank peringkat ke-16 sebagai pemberi pinjaman AS terbesar pada 2022.

Menghadapi kenaikan suku bunga bank sentral AS The Fed, SVB terpaksa harus menaikan suku bunga yang lebih tinggi. Sehingga mereka sulit untuk membayar bunga deposito nasabah, dan juga mempersulit startup untuk membayar cicilan. Ini membuat nasabah melakukan rush (penarikan besar karena panik) terhadap simpanan mereka di SVB.

Baca juga : Silicon Valley Bank Bangkrut, Jokowi: Semua Ngeri

"Kejadian ini diprediksi akan membuat bank-bank di dunia menjadi berhati-hati dalam pembiayaan bisnis rintisan," kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat, Rabu (15/3).

Penutupan SVB juga berkelindan dengan meredupnya bisnis teknologi dan startup dengan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran, seperti yang terjadi di Amazon, 5 Januari 2023 yang mem-PHK sekitar 18000 karyawan, Google pun melakukan PHK terhadap12000 karyawan.

Baca juga : Penutupan Silicon Valley Bisa Menguntungkan Indonesia

Meta, Induk Facebook juga akan melakukan PHK 10 Ribu Karyawan hingga Akhir Mei 2023. Di dalam negeri, ada GOTO yang mem-PHK 1300 orang dan kembali PHK 600 karyawannya untuk merampingkan bisnis.

"Jika ditelusuri lebih jauh maka para pegiat bisnis rintisan harus lebih berhati-hati dan lebih kreatif untuk meningkatkan feasibility bisnisnya," ujar Achmad.

Terpisah, Investment Partner GDP Venture Anthony Liem mengatakan winter atau musim dingin bagi startup teknologi telah dimulai sejak era kenaikan suku bunga diterapkan The Fed. Akibatnya, perusahaan pendanaan maupun investor akan lebih berhati-hati untuk menyuntikan dana ke perusahaan rintisan teknologi.

Dia mencontohkan, ketika perbankan terkena rush nasabah, kondisi keuangannya pasti terguncang. Oleh karena SVB bukan merupakan bank baru, dia melihat kasus bangkrutnya SVB justru karena terlalu berhati-hati.

"Sehingga ada likuiditas mismatch, dan kurangnya risk managent. Winter startup terjadi bukan karena SVB. Justru suku bunga The Fed terlalu tinggi menjadi masalahnya, membuat bank harus bayar bunga deposito tinggi. Mungkin karena kejadian ini, Justru The Fed akan hati-hati menaikan suku bunga," kata Anthony.

Guncangan kolapsnya Silicon Valley Bank memang mengagetkan, namun tidak secara langsung berdampak ke Indonesia. Sebab mayoritas perusahaan startup di Indonesia dan Asia memiliki kantor pusat dan pengelolaan di Singapura. Ini berbeda bila kasusnya seperti banyak startup di India yang memiliki dual perusahan, yang satunya ditempatkan di Amerika.

"Justru juga dari startup yang harus hati-hati, untuk tidak menempatkan uangnya di satu keranjang atau satu bank saja. Kalau kejadiannya seperti SVB, startup jadi tidak bisa membayar payroll pegawai perusahaan," kata Anthony.

CEO dan CTO GDP Labs Venture On Lee mengatakan umumnya perusahaan startup tidak secara berkala mengecek kondisi finansial atau uang mereka di Perbankan.

"Ini yang harus juga diubah. Bagaimanapun secara bulanan harus cek uang mereka di bank," kata On Lee.

Terpisah, Direktur Keuangan Bank BNI Novita Widya Anggraini mengatakan BNI melihat bahwa perseroan saat ini tidak memiliki eksposur terhadap Silicon Valley Bank.

Tentu dengan kejadian kolapnya SVB, dapat dipetik pelajaran untuk penguatan model model bisnis bank.

Saat ini di Bank BNI, rasio kecukupan modal berada di atas ada ketentuan minimum regulator dan lebih tinggi apabila dibandingkan dengan bank-bank global lainnya.

Kemudian dari liabilitas perseroan ini didominasi oleh pendanaan yang stabil yaitu dana pihak ketiga (DPK) dan hanya kurang dari 10% yang berasal dari pendanaan wholesale.

Asset BNI sebanyak 80% terdiri dari kredit dan hanya 20% persen berupa obligasi/ surat utang. Porsi untuk obligasi pun komposisinya 94% adalah obligasi pemerintah.

"Dalam menjalankan bisnis harus selalu melakukan mitigasi resiko, dan diversifikasi aset untuk mengurangi risiko konsentrasi. Perbankan di Indonesia secara industri, kondisi modalnya relatif jumlahnya berada di atas 20%. Perbankan Indonesia cukup kuat untuk untuk memitigasi risiko dan kemungkinan yang terjadi," kata Novita. (Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat