visitaaponce.com

Proteksionisme Bukan Satu-satunya Cara Dorong Hilirisasi

Proteksionisme Bukan Satu-satunya Cara Dorong Hilirisasi
Ilustrasi - Bukan semata proteksi, Pemerintah diminta menyiapkan kebijakan hilirisasi dan investasi sektor hiling yang matang. (MI/Ramdani)

KEBIJAKAN proteksionisme yang diterapkan Indonesia pada komoditas mentah bisa jadi bukan satu-satunya solusi dalam mendorong upaya penghiliran industri. Pemerintah perlu belajar dari kegagalan proteksionisme Crude Palm Oil (CPO) serta keberhasilan proteksionisme bijih nikel.

Demikian petikan laporan spesial yang dirilis Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, bertajuk Larangan Ekspor Mineral Indonesia dan Implikasinya.

Wakil Direktur untuk Penelitian LPEM UI Jahen Fachrul Rezki mengatakan, langkah utama dan perlu menjadi fokus pemerintah Indonesia adalah menyiapkan kebijakan hilirisasi dan investasi sektor hilir yang matang untuk tiap sektor mineral mentah. Hal itu dilakukan sembari memperkuat keterlibatan dan posisi Indonesia di rantai pasok global.

Baca juga: Jalankan Prinsip Bisnis Berkelanjutan, Ini yang Dilakukan Emiten Perkebunan Sawit Sumbermas

"Pemerintah juga perlu paham bahwa tidak semua komoditas atau sektor harus dan perlu dihilirisasikan. Pemerintah perlu fokus untuk memperhatikan dan mengembangkan sektor yang punya kekuatan (competitive advantage)," ujarnya seperti dikutip pada Kamis (15/6).

Kebijakan larangan ekspor, lanjut Jahen, dapat memberikan risiko adanya potensi balasan atau retaliation dari negara mitra dagang utama Indonesia untuk menerapkan proteksionisme. Akibatnya, itu akan berdampak pada guncangan di pasar internasional karena penawaran yang ada tidak dapat memenuhi permintaan.

Baca juga: Hilirisasi Berkontribusi Signifikan pada Neraca Perdagangan

Padahal, lebih dari 90% impor Indonesia merupakan bahan baku dan barang modal yang digunakan untuk produksi. Masih tingginya ketergantungan barang baku dari impor dapat memperburuk kinerja industri domestik, apabila sewaktu-waktu terjadi kebijakan proteksionisme oleh negara mitra pada beberapa komoditas utama impor Indonesia.

"Faktor lain yang lebih mengkhawatirkan adalah memburuknya hubungan dagang Indonesia dengan negara-negara mitra," tutur Jahen.

Alih-alih menerapkan kebijakan proteksionisme untuk beberapa produk mineral mentah yang tidak unggul di pasar global, pemerintah didorong fokus menyiapkan kebijakan yang lebih matang.

Di antaranya melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), memberikan berbagai insentif fiskal untuk pelaku usaha yang ingin melakukan hilirisasi, menarik investasi yang dapat memberikan transfer of knowledge serta alih teknologi, serta memastikan pasokan bahan baku domestik yang berkualitas dan memadai. Salah satunya adalah dengan menerapkan pengaturan kuota atau kadar tertentu yang boleh diekspor.

"Pemerintah perlu memetakan mana saja komoditas mineral yang memiliki keunggulan kompetitif dan bagaimana potensi sektor hilir dari komoditas tersebut di pasar global dengan mengkaji kecenderungan tren permintaan global ke depan akan komoditas hilir tersebut," jelas Jahen.

Laporan tersebut juga mengingatkan kebijakan hilirisasi yang dilakukan Indonesia berpotensi tak semulus yang terjadi pada komoditas nikel. Ini berkenaan dengan pemberlakuan larangan ekspor bauksit yang mulai berlaku sejak 10 Juni 2023.

Adapun minat investasi pada pengolahan bauksit yang digunakan sebagai bahan dasar aluminium ternyata belum setinggi investasi pada pengolahan nikel. Padahal, aluminium digunakan secara luas dalam konstruksi pesawat terbang, bahan bangunan, dan barang konsumen yang tahan lama (durable goods).

Hal itu disebabkan salah satunya karena Indonesia bukanlah eksportir utama bauksit di pasar global. Hingga saat ini, baru beberapa perusahaan Tiongkok yang berencana untuk investasi pembangunan smelter bauksit untuk memproduksi alumina di Indonesia.

Perusahaan tersebut yakni Shandong Nanshan yang akan memperluas pabrik alumina baru di Pulau Bintan untuk membangun kompleks peleburan aluminium senilai US$6 miliar pada tahun 2028. Selain itu baru ada kerja sama antara Grup Hongqiao Tiongkok dan perusahaan tambang Indonesia PT. Cita Mineral Investindo yang menyelesaikan perluasan kilang alumina di Kalimantan pada tahun lalu.

"Kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian atau pengolahan bauksit juga tidak berjalan sesuai harapan. Bahkan, dari delapan smelter yang sedang dibangun, tujuh di antaranya masih berupa tanah lapang," kata Jahen. (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat