visitaaponce.com

Permintaan Bahlil agar Freeport Bangun Smelter di Papua Disebut Terlalu Muluk

Permintaan Bahlil agar Freeport Bangun Smelter di Papua Disebut Terlalu Muluk
Area tambang tembaga PT Freeport Indonesia, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua.(Antara)

PERMINTAAN Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, agar PT Freeport Indonesia (PTFI) membangun pabrik pemurnian dan pengolahan mineral (smelter) di Papua dianggap terlalu muluk-muluk. Bahlil diketahui meminta Freeport membangun smelter di Papua sebagai syarat perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Pengamat pertambangan dan peneliti di Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menjelaskan tidak mudah bagi perusahaan tambang untuk membangun pabrik smelter konsentrat tembaga yang baru karena membutuhkan modal dan tenaga kerja yang amat besar.

Ia mencontohkan seperti pembangunan smelter Manyar Freeport di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Java Integrated and Ports Estate (JIIPE) Gresik, Jawa Timur, menelan investasi sebesar US$3 miliar atau setara Rp45 triliun (kurs Rp15.040).

Baca juga: Bahlil Tuding IMF Pasang Standar Ganda soal Larangan Hilirisasi RI

"Proyek smelter ini memakan capital expenditure (capex) yang besar. Kalau mau minta smelter di Papua, harusnya sudah dari dulu, biar Freeport tidak bangun di Manyar. Pak Bahlil ini jangan banyak mau," ungkapnya saat dihubungi wartawan, Sabtu (1/7).

Ferdy menjelaskan sejak awal tahun 2014, Freeport sudah diperintahkan negara membangun smelter di suatu kawasan. Salah satu lokasi pilihan yang didorong ialah di Papua. Namun, katanya, karena ada tarik ulur bisnis di Papua, Freeport akhirnya memilih membangun proyek pengolahan konsentrat tembaga di Gresik.

Baca juga: Bahlil Mengaku tidak Tahu Sama Sekali RI Kecolongan 5 Juta Ton Nikel

Pembangunan Smelter Manyar baru berjalan di Juli 2021 dan ditargetkan beroperasi pada pertengahan 2024 dengan kapasitas produksi 1,7 juta ton konsentrat per tahun.

"Sekarang, progres Smelter Manyar sudah 65%. Kalau saat ini pemerintah mau Freeport bangun smelter lagi, ya tidak tepat. Jadi, jangan berpikir politis saja, tapi ekonomis juga," jelas Ferdy.

Masih Banyak Waktu

Ia juga berpendapat pemerintah jangan terlalu memaksakan keinginan agar Freeport membangun smelter di Papua. Pasalnya, perpanjangan IUPK PTFI baru habis di 2041. Pemberian perpanjangan kontrak itu bisa diberikan setelah pergantian pemerintahan Joko Widodo.

"Artinya, masih ada waktu yang panjang. Bisa jadi bukan urusan pemerintahan Jokowi lagi," pungkasnya.

Sebelumnya, saat konferensi pers di Kantor BKPM, Bahlil menjelaskan pemerintah masih bernegosiasi dengan Freeport perihal perpanjangan IUPK. Ia beralasan pentingnya bagi perusahaan tersebut membangun smelter di Papua karena menyangkut kedaulatan provinsi tersebut. Freeport dianggap telah puas mengeruk kekayaan Papua berupa emas dan tembaga selama bertahun-tahun.

"Dengan perpanjangan (IUPK) itu, kita minta bahwa harus ada smelter di papua. Kenapa? Itu menyangkut kedaulatan dan harga diri orang Papua juga, jangan kita ditipu-tipu terus," tegas Bahlil.

Menurutnya, Freeport bisa membangun smelter di daerah Fakfak atau di Timika tergantung studi kelayakan atau feasibility study (FS) yang dilakukan.

"Masih belum diputuskan, karena belum ada FS. Tapi boleh di mana saja asal di Papua. Kita dorong smelter ini jadi," terangnya.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons dari PTFI yang diterima Media Indonesia perihal permintaan pemerintah untuk membangun smelter di Papua.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat