visitaaponce.com

CSIS Menimbang Manfaat BRICS Bagi Indonesia

CSIS: Menimbang Manfaat BRICS Bagi Indonesia
President Brazil Luiz Inacio Lula da Silva(AFP/Phill Magakoe)

Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) telah berlangsung di Johannesburg, Afrika Selatan pada 22-24 Agustus lalu. 

Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dandy Rafitrandi, mengatakan negara BRICS mampu menjadi semakin besar untuk kekuatan ekonomi dunia.

Bagi Indonesia, negara-negara BRICS juga merupakan partner strategis, salah satunya dari sisi perdagangan internasional. Sebesar sepertiga perdagangan ekspor dan impor Indonesia di tahun 2022 berasal dari negara-negara BRICS. Secara nilai bila dibandingkan dengan 10 tahun lalu meningkat dua kali lipat.

“Namun dengan catatan, persentase terbesar masih dipegang oleh Tiongkok, baik dari sisi perdagangan maupun investasi dengan Indonesia,” kata Dandy, dalam Media Briefing Hasil KTT BRICS dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Senin (28/8).

Beberapa highlight dari pertemuan BRICS kemarin antara lain adanya anggota baru yaitu Argentina, Mesir, Arab Saudi, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab. Deklarasi yang tercapai di pertemuan itu menekankan pada beberapa hal, terkait multilateralisme, pembangunan dan kedamaian, kemitraan untuk mempercepat pertumbuhan, SDG, kolaborasi pembangunan, dan juga aspek dari institusi BRICS itu sendiri.

Dandy mengatakan terdapat potensi dan tantangan apabila nanti Indonesia ingin ikut serta atau menjadi salah satu anggota BRICS. Perlu dipikirkan kembali juga nilai tambah ekonomi yang Indonesia harapkan dalam platform kerja sama ekonomi Internasional ini.

“Kami melihat masih belum jelas motivasinya. Apakah Indonesia menginginkan akses pasar, investasi, pendanaan, ataupun akses teknologi. Ini harus kita cermati bersama,” kata Dandy.

Dalam deklarasi KTT tersebut, BRICS juga menerima Bangladesh, Mesir dan juga Uni Emirat Arab sebagai anggota New Development Bank atau Bank Dunianya negara-negara BRICS yang lahir sejak 2015, berdasarkan kritik kepada negara-negara maju yang masih kurang mengakomodasi kepentingan negara berkembang.

“New development bank ini menekankan bahwa mereka merupakan sebuah platform multilateral yang mengedepankan local currency (mata uang lokal),” kata Dandy.

Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri menjelaskan potensi dan tantangan serta kalkulasi ekonomi ketika Indonesia ingin bergabung kepada forum BRICS, di tengah kondisi eksternal yang masih dipenuhi oleh kompetisi strategis antara Amerika dan Tiongkok, dan cukup rapuhnya sistem keuangan dan perdagangan internasional.

Yose mengatakan pada KTT yang baru saja berlangsung, ada upaya untuk ekspansi dan menjadikan BRICS lebih besar, dan menjadi salah satu alat geopolitik yang cukup instrumental. BRICS masih tetap menekankan aspek ekonominya. Oleh karena itu perlu dilihat bagaimana BRICS ini di dalam perekonomian dunia.

BRICS saat ini sudah mendapatkan porsi yang lebih besar di dalam perekonomian dunia dibandingkan 12 tahun yang lalu, dimana pada saat itu negara G7 lebih mendominasi perekonomian dunia. Namun saat ini porsi BRICS lebih besar dibandingkan dengan G7.

Tetapi merujuk pada statistik yang diolah CSIS, menunjukkan hanya dua negara yang kinerja ekonominya bertumbuh menjadi dua kali lipat dalam kurun waktu 12 tahun antara 2010 – 2022, yaitu hanya Tiongkok dan India. Sedangkan Rusia, Brasil, serta Afrika Selatan tidak benar-benar memiliki pertumbuhan yang cukup tinggi dan cenderung stagnan. Hal lain dapat dilihat dari tingkat PDB per kapita atau kesejahteraan dari masyarakatnya, Brasil dan Afrika Selatan cenderung mengalami pertumbuhan kesejahteraan yang negatif.

“Bahkan performa ekonomi Indonesia yang jauh lebih baik,” kata Yose.

Maka apabila Indonesia tertarik untuk menjadi anggota BRICS, maka tidak cukup hanya mengandalkan pertimbangan dari sisi ekonomi. Sebab BRICS hanya bergantung dari India dan Tiongkok, dimana Indonesia telah memiliki hubungan bilateral, regional, dan ekonomi yang kuat dengan mereka, yang jauh lebih subsantial daripada BRICS.

Apalagi dari sisi keuangan, penerimaan devisa negara-negara BRICS, seperti Rusia, Brasil dan Afrika Selatan menunjukkan penerimaan yang terus turun, dibandingkan dengan 2010, termasuk Tiongkok. Banyak negara-negara ini tidak mempunyai kondisi makroekonomi yang cukup kuat.

Ini menjadi salah satu dasar penggunaan local currency menjadi salah satu agenda BRICS. Sebab agenda itu akan menjadi dasar bagi Brasil, Rusia dan India untuk memperkuat makroekonomi mereka. Sementara bagi Tiongkok, akan diuntungkan dari sisi geopolitik maupun juga pengaruh mereka dengan penggunaan local currency. Namun currency yang dipakai ini harus akan ada yang menanggung biayanya.

“Saya mau menunjukkan kalau Indonesia mau bergabung dengan kerja sama internasional seperti ini, carilah kerja sama internasional yang selevel. Lebih baik mencari langsung yang memang pusatnya yaitu India dan Tiongkok,” kata Yose. (Try/E-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Raja Suhud

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat