visitaaponce.com

Pasar Tunggu Data Cadangan Devisa RI, Neraca Dagang Tiongkok, dan Data Pengangguran AS

Pasar Tunggu Data Cadangan Devisa RI, Neraca Dagang Tiongkok, dan Data Pengangguran AS
Ilustrasi(Dok MI)

PEKAN ini akan menjadi pekan yang penting, dari Indonesia akan keluar data cadangan devisa. Dari Amerika tidak ada data ekonomi yang terlalu berpengaruh selain tentu data Initial Jobless Claims dan Continuing Claims.

"Data penting justru datang dari Eropa terkait pertumbuhan ekonomi kuartal II 2023 yang akan mencuri perhatian, diikuti dengan data penjualan ritel," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus, Senin (4/9).

Dari Tiongkok, data cadangan devisa, ekspor dan impor masih berada di area negatif, meski diproyeksi membaik. Data inflasi dan PPI akan mencuri perhatian, terkait masih tidaknya deflasi dialami Tiongkok.

Baca juga : Regulasi Devisa Hasil Ekspor: Alarm Cadangan Devisa

Dari Jepang, data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2023 akan menjadi pendorong positif pasar Asia pekan ini, apabila data tersebut mampu tumbuh lebih baik.

"Sejauh ini besar kemungkinan pasar akan disambut positif, hanya tinggal sejauh mana persepsi menopang pasar," kata Nico.

Baca juga : Ekonomi Terus Melemah, Investor Berbondong-bondong Kabur dari Tiongkok

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada minggu lalu sempat menguat di atas 7.000 meski hanya beberapa menit namun turun lagi dan akhirnya IHSG pada minggu lalu ditutup menguat di bawah 7.000, tepatnya menguat sebesar 1,19% di angka 6.977.

 

Produksi minyak OPEC+

Community Lead IPOT, Angga Septianus menjelaskan untuk minggu ini, ada 3 sentimen yang wajib dipantau para pelaku pasar, yakni neraca dagang China dan AS, cadangan devisa Indonesia dan rencana OPEC+ mengurangi produksi minyak.

Terkait cadangan devisa Indonesia,  aturan DHE tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023 tentang DHE dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan atau pengolahan sumber daya alam, sebagai pengganti PP Nomor 1 Tahun 2019, akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2023 mendatang.

"Jika nilai ekspor di atas US$250 ribu, maka dana itu wajib mengendap di Indonesia selama 3 bulan. Target cadev US$300 miliar dalam waktu dekat setahun ini," kata Angga.

Ada pun sentimen penggerak market minggu ini yakni rencana OPEC+ mengurangi produksi. Ia menjelaskan harga minyak mengalami tren kenaikan selama tiga bulan berturut-turut, di tengah ekspektasi bahwa pemotongan oleh kelompok negara-negara penghasil minyak OPEC+, yang dipimpin oleh Arab Saudi, akan terus berlanjut hingga akhir tahun 2023.

"Diperkirakan Arab Saudi akan memperpanjang pengurangan produksi minyak secara sukarela sebesar 1 juta barel per hari hingga bulan Oktober mendatang," kata Angga.

 

Krisis properti Tiongkok

Terkait neraca dagang Tiongkok dan AS, menurut Angga, akan sangat berpengaruh terhadap Indonesia. Krisis properti yang terjadi di Tiongkok membuat perekonomian melambat dan memengaruhi kinerja ekspor dan impor secara global.

Beberapa bank milik negara Tiongkok dilaporkan akan segera menurunkan suku bunga hipotek yang ada.

"Penurunan suku bunga hipotek akan dilakukan di tengah beberapa langkah pemberian stimulus properti, ekonomi dan pasar lainnya yang telah diumumkan Beijing selama beberapa minggu terakhir, seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap kesehatan ekonomi terbesar kedua di dunia," kata Angga.

Nico juga menjelaskan, Tiongkok kembali mendorong perekonomian dan mendukung mata uang mereka. Yuan RMB telah melemah lebih jauh tahun ini. Bank Sentral Tiongkok akan memangkas jumlah simpanan mata uang asing yang wajib disimpan oleh perbankan sebagai cadangan untuk pertama kalinya pada tahun ini.

Tiongkok terus melakukan langkah-langkah kecil, memberikan stimulus yang lebih terukur daripada dalam jumlah besar yang diberikan selama krisis keuangan global tahun 2008.

Sejauh ini beberapa paket kebijakan terlihat berusaha untuk menyakinkan pelaku pasar dan investor bahwa Tiongkok bergerak menjadi lebih baik.

Nantinya lembaga keuangan juga hanya akan menyimpan 4% dari simpanan valuta asing mereka sebagai cadangan mulai 15 September mendatang. Nilai ini turun dari sebelumnya yang sebesar 6%.

Langkah ini dilakukan untuk memberikan daya tarik yang lebih besar bagi pengguna untuk membeli Yuan. Seiring dengan meningkatnya stimulus, pasar mulai bergerak lebih stabil, setidaknya untuk saat ini.

Pelaku pasar dan investor menilai bahwa stimulus yang diberikan mulai memberikan dampak yang positif, yaitu Yuan ditutup menguat, begitu juga dengan Indeks CSI 300 yang naik 0,7%.

PMI Manufacturing juga naik dari sebelumnya 49,2 menjadi 51. Hal ini menunjukkan tanda yang positif bagi Tiongkok ke depannya di tengah situasi dan kondisi perlambatan ekonomi yang terjadi.

Pengurangan pembayaran dan penurunan tingkat suku bunga pinjaman juga telah membuat para pemilik rumah dapat menghemat uang yang dapat mendorong pengeluaran rumah tangga.

Dari sisi pajak, Pemerintah Tiongkok juga meningkatan pengurangan pajak penghasilan pribadi untuk perawatan anak, perawatan orang tua dan belanja pendidikan anak.

 

KTT G20 di India

Di tengah kekhawatiran perlambatan ekonomi Tiongkok, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di India akan menjadi perhatian pelaku pasar dan investor berikutnya.

Amerika tentu berharap akan lebih banyak ambil bagian dalam pertemuan nanti. Baik Menteri Keuangan AS Janet Yellen maupun Presiden AS Joe Biden khawatir perlambatan ekonomi Tiongkok akan menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja dan memberikan tekanan kepada Amerika, meski mereka mengatakan tekanan yang paling besar akan dirasakan di kawasan Asia.

KTT G20 diharapkan akan menjadi tolok ukur baru bagi semua negara untuk perubahan ekonomi ke arah yang lebih baik. (Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat