visitaaponce.com

GAPKI Perusahaan Swasta Berhati-hati Jalankan Program Pemerintah

GAPKI: Perusahaan Swasta Berhati-hati Jalankan Program Pemerintah
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono,(Ist)

PENETAPAN tiga perusahaan di sektor industri sawit yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan minyak goreng masih jadi perhatian serius berbagai pihak, termasuk kalangan usaha.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menegaskan peristiwa tersebut akan jadi catatan serius bagi kalangan usaha jika di kemudian hari ada program lain dari pemerintah yang melibatkan pengusaha swasta.

"Ke depan, perusahaan akan sangat berhati-hati agar masalah ini tidak terjadi lagi. Artinya setiap ada kebijakan seperti yang lalu perusahaan akan melihat dulu dampak ke depan bagi perusahaan tersebut," jelas dia seperti dikutip dalam sebuah keterangan tertulis, Senin (18/9).  

Baca juga: Industri Sawit Indonesia Sumbang Devisa US$5,29 Miliar

Eddy menegaskan, pengusaha swasta tentu tidak akan antipati terhadap program pemerintah, apalagi demi kepentingan masyarakat.

"Hanya saja, pelaku usaha khususnya di sektor kelapa sawit akan lebih hati-hati bila kebijakan yang dikeluarkan menimbulkan keraguan. Seperti misalnya, cepat berubah-ubah atau menimbulkan risiko bagi perusahaan," jelas Eddy.

Konsekuensinya, lanjut dia lagi, program yang dijalankan tidak akan bisa cepat dieksekusi karena perusahaan swasta lebih berhati-hati.

"Apabila terjadi keraguan perusahaan akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan pemerintah artinya implementasinya tidak bisa cepat karena kehati-hatian perusahaan," tegasnya.

Baca juga: Mentan SYL Minta GAPKI Perkuat Industri Sawit dan Perkokoh Ekonomi Nasional

Bicara soal kebijakan pengendalian harga minyak goreng yang menyeret tiga perusahaan swasta di atas dalam pusaran kasus korupsi, sebenarnya risiko itu pernah diingatkan sejumlah pihak.

Mereka utamanya menyoroti soal kebijakan yang berubah dengan cepat dan terkesan 'salah resep'.

Jadi Tersangka Karena Terapkan Kebijakan Pemerintah

Selain itu, sorotan juga mengarah pada penetapan tiga perusahaan padahal tindakan yang dilakukan perusahaan tersebut adalah dalam rangka menjalankan program pemerintah.

Ahli Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad), Nella Sumika Putri, mengatakan bila yang dilakukan perusahaan memang melaksanakan aturan hukum yang dibuat pemerintah, seharusnya yang dilakukan perusahaan tersebut sangat bisa dibenarkan. 

Baca juga: Hadiri Munas GAPKI, Kementan Dorong Kolaborasi Demi Persawitan Indonesia

"Contohnya, ada sebuah produk ada aturan HET-nya maksimal Rp1.000, namun karena keadaan tertentu ada suatu aturan lain yang membuat orang boleh jual di atas HET misalnya Rp1.500, nah yang dilakukan orang itu dibenarkan oleh hukum, karena ada aturan yang dibuat oleh pemerintah," tutur dia mencontohkan.

Sebelumnya, hasil kajian yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), kebijakan pengendalian harga minyak goreng sudah salah sasaran sejak awal.

"Konsumsi minyak goreng rumah tangga 61% merupakan minyak curah, namun kebijakan yang dilakukan adalah subsidi pada minyak kemasan.," kata peneliti Indef, Rusli Abdullah, Senin (31/7) lalu.

"Di sisi lain, infrastruktur untuk pelaksanaan subsidi minyak goreng kemasan dianggap lebih baik dibandingkan infrastruktur minyak goreng curah," jelas Rusli, Senin (31/7) lalu.

Baca juga: Mentan SYL: Pemerintah All Out Dukung GAPKI

Rusli memandang kebijakan subsidi tersebut pada akhirnya memunculkan panic buying pada pasar ritel modern akibat respons penurunan harga yang lebih cepat dibandingkan di pasar tradisional.

Padahal, kapasitas pasar ritel modern hanya bisa memenuhi kapasitas konsumsi nasional sekitar 10% dari kebutuhan rumah tangga sebesar 3,9 juta kilo liter per tahun atau 325 juta liter per bulan.

Artinya, pasar ritel modern dengan jaringan distributornya hanya mampu menyediakan sekitar 325 ribu liter per bulan atau 3,9 juta liter per tahun. Faktanya, 61% atau 2,4 juta kilo liter per tahun kebutuhan minyak goreng ada di jenis minyak goreng curah.

Subsidi Minyak Goreng Tak Efektif

Faktor infrastruktur yang menjadi penyebab tidak efektifnya subsidi minyak goreng sejalan dengan fakta kebutuhan minyak goreng rumah tangga yang sebagian besar dalam bentuk minyak curah.

"Kritik atas kebijakan subsidi muncul. Salah satu sebabnya adalah kebijakan subsidi ini dinilai tidak efektif karena bias pasar atau segmen," tegasnya. 

Kajian Indef itu sejalan dengan temuan yang diperoleh Ombudsman. Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, mengatakan penanganan perkara ini tak bisa hanya dilihat dari satu sisi.

Ia menyoroti soal strategi pengendalian harga minyak goreng yang semuanya digerakkan berdasarkan aturan yang dibuat pemerintah.

"Di dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kan sudah jelas, jawaban Ombudsman terkait masalah ini. Pangkal mula dari persoalan ini adalah ketidakmampuan Kemendag dalam memitigasi dampak kenaikan harga CPO," kata Yeka. (RO/S-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat