visitaaponce.com

SKK Migas Jaring Pembeli LNG Masela, Potensi Gas Melimpah

SKK Migas Jaring Pembeli LNG Masela, Potensi Gas Melimpah
Blok Masela(Medcom.id)

SKK Migas bersama operator blok minyak dan gas (migas) Lapangan Abadi Wilayah Kerja (WK) Masela, Tanimbar, Maluku, menjaring calon pembeli gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) dari proyek tersebut.

"Ada potensi gas yang besar dari Blok Masela," kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto.

Dengan melansir laman resmi Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi selama kontrak Blok Masela sebesar 16,38 triliun kaki kubik persegi atau trillion square cubic feet/TSCF (gross). 

Baca juga : Pertamina dan Petronas Resmi Gantikan Shell di Blok Masela

Adapun penjualan gasnya sebesar 12,95 TSCF dengan kapasitas produksi kilang LNG 9,5 juta ton per tahun/million ton per annual (mtpa) dan 150 juta kaki kubik (mmscfd) dalam bentuk gas pipa, serta produksi kumulatif kondensat sebesar 255,28 juta barel (million stock tank barrels/MMSTB).

"Kita dorong ini pembelinya karena ke depan gas memiliki potensi yang cemerlang, termasuk di Blok Masela. Urusan partner (dengan Inpex) kan sudah selesai," ujar Dwi saat audiensi dengan tim Media Indonesia di Kantor SKK Migas, Jakarta, Selasa (12/12).

 

Baca juga : Beroperasi di 2029, Blok Masela Gunakan Skema Offshore dan Onshore


Saham Inpex Masela Ltd 65%

Proyek itu sempat terhambat karena perusahaan migas asal Belanda, Shell hengkang dari proyek Masela di 2020. Saat ini pemegang hak partisipasi (participating Interest/ PI) terbesar masih dipegang operator Blok Masela yakni perusahaan minyak asal Jepang, Inpex Masela Ltd dengan kepemilikan 65% saham. 

Posisi Shell pun digantikan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Masela dengan kepemilikan saham 20% dan perusahaan migas asal Malaysia, Petronas Masela Sdn. Bhd dengan 15%.

Dalam waktu dekat, Kepala SKK Migas menjelaskan project team management Masela akan mulai bekerja untuk mempercepat pengembangan blok yang berlokasi di Laut Arafura itu.

"Mudah-mudahan team management Masela sudah bisa kick off pada akhir tahun ini. Jadi, sudah jelas manajemen dan kantornya," terang Dwi.

Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris SKK Migas Shinta Damayanti mengeklaim banyak calon pembeli mengantre mendapatkan gas LNG dari Blok Masela. Saat ini masih tengah dilakukan pembahasan atas penjualan dan pembelian gas LNG, termasuk soal kesepakatan harga.

"Kita sudah punya ancer-ancer dan potensial (pembelinya) itu banyak. Tinggal harganya cocok atau tidak," ucapnya.

Gas dari Blok Masela sebesar 60% akan diperuntukkan untuk domestik dan sisanya untuk ekspor. Gas LNG itu akan dimanfaatkan untuk industri pupuk dan petrokimia.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi D. Suryodipuro membeberkan potensial pembeli gas LNG Blok Masela ialah perusahaan yang memiliki fasilitas receiving terminal LNG atau terminal penerimaan LNG. Kemungkinan gas tersebut akan disuplai untuk kebutuhan pabrik pupuk yang ada di kawasan industri Fakfak, Papua Barat.

"Karena ini LNG, harus ada receiving terminal LNG. Bisa untuk keperluan pabrik pupuk. Tapi, ini tergantung kesepakatan nanti," pungkasnya. 

Baca juga : Menilik Pengelolaan Blok Masela

 

Final Investment Decision

Dihubungi terpisah, Vice President (VP) Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengungkapkan pembeli gas menjadi bagian penting untuk mengamankan keputusan akhir investasi atau final investment decision (FID) proyek ladang gas Abadi itu. Penyelesaian FID ditargetkan rampung dalam waktu dua tahun ke depan.

Saat ini, Pertamina melalui PHE Masela bersama Inpex sebagai operator di Blok Masela sedang mematangkan rincian-rincian kegiatan dari POD I revisi 2 yang sudah disetujui Kementerian ESDM pada akhir November lalu.

"Segera setelah pematangan tersebut selesai dilakukan, maka FID akan diajukan estimasinya satu hingga dua tahun ke depan," imbuhnya.

Perkiraan biaya yang diperlukan untuk mengembangkan Blok Masela sebesar US$20,946 miliar. Ini termasuk biaya penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS) sebesar US$1,088 miliar, biaya operasi senilai US$12,978 miliar, dan biaya abandonment and site restoration (ASR) sebesar US$830 juta. (Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat