visitaaponce.com

Pemerintah Diminta Tentukan Prioritas PLTU yang Bisa Dipensiunkan

Pemerintah Diminta Tentukan Prioritas PLTU yang Bisa Dipensiunkan
Pekerja tambang melintas di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)(ANTARA FOTO/Andri Saputra)

PEMERINTAH diminta segera menentukan prioritas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang dapat diakhiri operasinya secara dini sejalan dengan jalur pembatasan suhu bumi di bawah 1,5°C. Hal tersebut berdasarkan kajian terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR), lembaga think tank di bidang transisi energi dan lingkungan di Indonesia, bersama Center for Global Sustainability (CGS) Universitas Maryland.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa memaparkan, pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh batu bara sekitar 60 sampai 70 persen. Adanya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk menjaga biaya listrik agar tetap terjangkau, menciptakan ketergantungan dan menyulitkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.

“Perubahan kebijakan ini diperlukan untuk memberikan dorongan agar PLN beralih dari batu bara ke energi terbarukan. Kebijakan pemerintah perlu menjembatani implikasi negatif jangka pendek yang muncul ke pemangku kepentingan seperti PLN maupun konsumen listrik,” kata Fabby dalam keterangannya, Selasa (4/6).

Baca juga : Tertata dan Disiplin, PLN EPI Komitmen Pengelolaan Pasokan Batu Bara dengan Bijak

Studi yang dilakukan IESR dan CGS menganalisis pembangkit listrik dalam jaringan (on grid) dan di luar jaringan (off grid) PLN yang menggunakan beberapa strategi untuk mengurangi kapasitas PLTU. Lalu ada operasi PLTU yang fleksibel, pemensiunan dini, pembakaran biomassa, substitusi energi terbarukan, pembatalan konstruksi, koneksi jaringan, dan penyimpanan karbon.

Studi ini memberikan strategi bottom up coal phase down yaitu mengusulkan strategi prioritas untuk tiap unit PLTU berdasarkan karakteristik PLTU dan kesesuaian peran PLTU untuk kebutuhan listrik di sistem masing-masing. “Rekomendasi strategi ini dapat melengkapi jalur JETP (Just Energy Transition Partnership ) yang sudah ada saat ini,” ujar Fabby.

Direktur CGS Nate Hulman mengungkapkan bahwa kajian tersebut merekomendasikan cara mengimplementasikan transisi energi bersih di Indonesia.

Baca juga :  Antisipasi Penurunan Cadangan Batu Bara, PLN EPI Kaji CBF bagi PLTU

“Penelitian baru kami menawarkan strategi yang ambisius dan transformatif yang sangat penting untuk memberikan kerangka kerja holistik baru agar strategi transisi selaras dengan target 1,5°C dengan mempertimbangkan tujuan nasional,” ujar Nate Hulman.

Laporan 1.5°C-Aligned Coal Power Transition Pathways in Indonesia menemukan antara tahun 2025 dan 2050, penggunaan co-firing biomassa dengan sumber berkelanjutan pada 80 unit PLTU batu bara (13 GW) off-grid dapat berkontribusi terhadap hampir setengah dari pengurangan emisi kumulatif.

Sementara itu, pengakhiran operasional secara dini PLTU batu bara dapat diterapkan pada 105 unit PLTU (25 GW). Hal itu dapat berkontribusi terhadap hampir setengah dari pengurangan emisi kumulatif pembangkit listrik on-grid.

Baca juga : Rencana Revisi Taksonomi Hijau Indonesia, Kemunduran dalam Transisi Energi Bersih

“Pengurangan emisi di sistem kelistrikan PLN perlu lebih digenjot untuk mengimbangi pertumbuhan emisi batu bara off-grid/captive dalam waktu dekat, sehingga mitigasi di sistem kelistrikan PLN berkontribusi terhadap 68% pengurangan emisi kumulatif hingga tahun 2050,” ujar Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo.

Untuk mencapai percepatan transisi energi batu bara ini, lanjutnya, diperlukan transformasi yang signifikan pada sistem ketenagalistrikan Indonesia. Mengintegrasikan sumber energi terbarukan yang semakin meningkat akan membutuhkan teknologi penyimpanan baru, perluasan infrastruktur jaringan listrik, dan operasi yang stabil dan fleksibel.

Analisis tersebut mengungkapkan bahwa biaya pembangkitan listrik (biaya operasi pembangkit dan bahan bakar) turun hingga 21% pada 2030 dan 75% pada 2050, serta mengurangi emisi dari sektor ketenagalistrikan hingga 50% pada 2040.

Di sisi lain, Maria A. Borrero, CGS Research Associate dan penulis utama laporan tersebut mengatakan terdapat kebutuhan investasi tambahan untuk implementasi dari strategi transisi.

“Investasi yang signifikan dalam teknologi penyimpanan baru, perluasan jaringan listrik, serta operasi yang stabil dan fleksibel sangat penting untuk membangun sistem tenaga listrik yang tangguh di Indonesia yang berpusat pada energi terbarukan,” katanya. (Ifa/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat