visitaaponce.com

Airlangga Akui Investasi di Indonesia belum Inklusif

Airlangga Akui Investasi di Indonesia belum Inklusif
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.(AFP/KENT NISHIMURA)

MARAKNYA investasi di sektor penghiliran sumber daya alam (SDA) diakui belum berhasil mengerek tingkat kesejahteraan masyarakat. Alih-alih membuat masyarakat naik kelas, penanaman modal yang deras di wilayah Tengah dan Timur Indonesia itu justru menimbulkan ketimpangan dan melahirkan penduduk miskin dalam jumlah tinggi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui hal itu masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan hingga saat ini. Menurutnya, penanganan masalah itu akan dikerjakan dari dua aspek, yakni investasi dan penurunan tingkat kemiskinan.

“Itu PR (kita) ada dua, satu bicara investasi, satu bicara kemiskinan yang ditargetkan near zero yang absolut di akhir tahun ini. (Upaya yang dilakukan) salah satunya kegiatan UMKM, KUR, kemudian juga terkait bansos,” terang dia kepada pewarta saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat (14/6).

Baca juga : Airlangga: Pemerintah Tetap Andalkan Modal Asing untuk Ekonomi Indonesia

Sebelumnya, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengatakan, tingginya angka kemiskinan di sejumlah daerah menandakan kegagalan pemerintah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Pasalnya, perekonomian yang tumbuh di kisaran 5% dalam satu dekade terakhir tak serta-merta membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Pertumbuhan yang tak inklusif itu secara nyata terlihat di wilayah yang menjadi destinasi investasi penghiliran produk sumber daya alam (SDA).

Di wilayah-wilayah tersebut, pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena penanaman modal tak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar. “Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi era Presiden Jokowi cenderung tidak inklusif,” ujarnya.

Baca juga : Pertumbuhan Ekonomi Era Jokowi Cenderung tidak Inklusif

Morowali, Sulawesi Tengah, misalnya, mengalami penurunan kemiskinan yang lamban dan menyebabkan masih banyak jumlah penduduk miskin di wilayah tersebut. Pada 2015, angka kemiskinan Morowali mencapai 15,8%, dan pada 2023 masih di kisaran 12,3%, jauh di atas rerata nasional yang hanya di kisaran 9,4%.

Padahal, Morowali merupakan contoh terdepan adopsi hilirisasi berbasis ekstraktivisme. Hilirisasi di sana dimulai pada 2015 yang membuat PDRB melonjak dari 12% pada 2014 menjadi 30% pada 2015. Pengalaman serupa terjadi di Konawe, Sulawesi Tenggara, dan Halmahera Tengah, Maluku Utara. Angka kemiskinan di Konawe tidak banyak berubah, dari 13,5% pada 2018 menjadi 13,0% pada 2023.

Padahal rerata pertumbuhan ekonomi Konawe sepanjang 2018-2022 mencapai 9,4% per tahun. “Pengalaman lebih buruk terjadi di Halmahera Selatan. Angka kemiskinan Halmahera Selatan meningkat dari 4,1% pada 2017 menjadi 5,7% pada 2023. Padahal hilirisasi nikel sejak 2017 telah mengubah wajah Halmahera Selatan yang pangsa sektor industri pengolahan melonjak drastis dari hanya 9% pada 2016 menjadi 48% pada 2022,” terang Yusuf.

Angka kemiskinan yang tinggi itu sebelumnya diamini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dalam rapat kerja bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Selasa (11/6), dia mengatakan tingkat kemiskinan belum bisa sepenuhnya ditekan lantaran di beberapa wilayah masih memiliki angka penduduk miskin yang cukup tinggi.

Kemiskinan tinggi itu utamanya terdapat di wilayah tengah dan timur Indonesia yang dibanjiri investasi untuk penghiliran SDA. (Z-6)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat