visitaaponce.com

Pemusik yang Mbandel itu Telah Berpulang

Pemusik yang Mbandel itu Telah Berpulang
Konser musik Sesaji Nagari oleh kelompok musik Kuaetnika pimpinan Djaduk Ferianto (kiri) di TIM, Jakarta(MI/Adam Dwi)

SENIMAN Kenamaan Yogyakarta, Djaduk Ferianto, tutup usia dini hari tadi, Rabu (13/11), sekitar pukul 02.30 WIB di kediamannya Desa Tamantirto, Yogyakarta. Informasi yang diterima Media Indonesia, seniman serba bisa dari kota gudeg itu diduga meninggal akibat serangan jantung.

Seniman yang terlahir dengan nama Guritno merupakan putra bungsu dari seniman legendaris Bagong Kusudihardjo. Ayahnya, seorang maestro tari jawa yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menghidup-hidupi kesenian tersebut. Nama Guritno hanya disandang sebentar saja, karena sering sakit-sakitan akhirnya sang ayah mengganti namanya menjadi “Djaduk” yang dalam bahasa Jawa memiliki arti unggul.

Masa kecil Djaduk akrab dengan seni dan tradisi. Setiap hari, ia bersama kedua kakaknya Otok Bima Sidharta dan Butet Kartaradjasa melihat ayahnya berlatih tari. Djaduk kecil bahkan sempat memiliki cita-cita menjadi dalang dan sempat belajar mendalang di kompleks Tedjakusuman sebelum akhirnya jatuh cinta dengan teater serta musik.

Sosok rekan sang ayah, Teguh Karya dan Arifin C. Noer, adalah orang-orang yang menginspirasi Djaduk untuk mendalami musik dan seni teater. Pria lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta ini bahkan pernah pergi ke Jepang dan Amerika untuk belajar tentang musik.

Djaduk muda mulai berkarir sebagai musisi sejak tahun 1972. Saat itu, ia rutin menggarap illustrasi musik untuk film dan sinetron, beberapa jingle iklan pun sempat digarapnya. Pada tahun 1978, Djaduk menyabet juara 1 Musik Humor Tingkat Nasional.

Di tahun 1995, bersama sang kakak, Butet Kartaradjasa, mendirikan komunitas musik Kua Etnika dan mulai fokus dengan penggalian kembali musik-musik etnik. Setelah itu, tahun 1997, Djaduk mulai bereksplorasi dengan musik keroncong dan mendirikan orkes keroncong Sinten Remen.

Baca juga: Keinginan Djaduk Berkolaborasi Dengan Rhoma Irama

Melalui dua kelompok itu, ia melahirkan karya-karya unik seperti Orkes Sumpeg Nang Ning Nong (1997) dan Ritus Swara (2000) bersama Kua Etnika, serta Parodi Iklan (2000), Komedi Putar (2002), Janji Palsu (2003), dan Maling Budiman (2006) bersama Orkes Sinten Remen.

Salah satu event musik jazz terbesar di Yogyakarta, Ngayogjazz, adalah warisan dari musisi kelahiran 1964 ini. Ngayogjazz merupakan event musik tahunan yang digelar di pelosok desa-desa di seputaran Yogyakarta dan telah berjalan selama 12 tahun. Tahun ini, Ngayogjazz akan digelar di Padukuhan Kwagon, Godean, Sleman pada 16 November 2019.

Selain bermusik, Djaduk juga dikenal sebagai sutradara pertunjukan teater dan pengarah ilustrasi musik. Ia tergabung dalam teater Gandrik dan sedang mempersiapkan latihan untuk pertunjukan teater yang akan dipentaskan di Surabaya bulan Desember.

Menurut keterangan Butet Kartaradjasa, rencananya Djaduk akan disemayamkan di Padepokan Seni Bagong Kusudiharjo sebelum dimakamkan pada pukul 15.00 WIB di Sembungan, Kasihan, Bantul.

Beberapa orang kolega sempat mengenang pertemuan-pertemuan intim dengan mendiang Djaduk, salah satunya Irwansyah Oemar Harahap, pengurus Toba Caldera World Music Festival (TCWMF) 2019.

Ia menulis “Jadi pemusik itu sekali-sekali harus mbandel, kalau ada yang marah, terutama yang tua-tua, lalu bilang kenapa dibuat gini-gitu, bilang aja ‘lha, ini kan musikku!’” demikianlah pesan yang pernah diutarakan oleh mendiang Djaduk Ferianto dalam workshop Toba Caldera World Music Festival (TCWMF) 2019.(OL-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat