visitaaponce.com

Tidak Efektifnya Aturan Pembatasan Perburuan Ikan Hiu di Indonesia

Tidak Efektifnya Aturan Pembatasan Perburuan Ikan Hiu di Indonesia
Seorang pedagang ikan membawa dua ekor ikan hiu menggunakan motor di Ikua Koto, Padang, Sumatera Barat, Jumat (13/8/2021).(ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)

PENELITI Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Asrul Setyadi menyoroti komitmen pemerintah Indonesia dalam mengendalikan penangkapan hiu dan pari.

Saat ini ada 2 kebijakan dan regulasi tentang hal ini yaitu Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi dan Pengelolaan Hiu dan Pari 2016-2020 dan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Kuota Pengambilan Untuk Pemanfaatan Jenis Ikan Yang Dilindungi Terbatas Berdasarkan Ketentuan Nasional Dan Jenis Ikan Dalam Appendiks II Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora.

“Dokumen RAN 2016-2020 tidak efektif karena tidak memuat secara lengkap peran dan tanggung jawab para pihak, kerangka waktu dan pendanaan sehingga sulit untuk mengevaluasi pelaksanaanya,” kata Asrul dalam keterangannya, Senin (23/8).

Setelah berakhir tahun 2020 lalu, belum ada dokumen RAN terbaru yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Sementara Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 21/2021, hal ini merupakan inisiatif dan terobosan KKP untuk mengendalikan penangkapan hiu dan pari.

“Implementasi Permen KP ini akan menghadapi tantangan pada aspek pengawasan dan pencatatan karena selama ini petugas kesulitan melakukan identifikasi jenis hiu yang ditangkap dan sudah diolah” kata Asrul.

Selain itu, pihaknya juga menyoroti besaran dan penentuan kuota kepada provinsi yang kurang proporsional.

“DKI Jakarta memiliki kuota terbanyak, padahal potensi dan penangkapan tidak diakukan di laut DKI yang sudah tertekan,” kata Asrul.

Ini bisa menjadi celah perdagangan oleh pelaku yang akan mentransportasikan hasil tangkapan hiu dan pari dari luar Jakarta untuk melaporkan dan terdata di Jakarta.

Dirinya mencurigai jika upaya pengendalian melalui Peraturan Menteri ini merupakan cara KKP untuk memperoleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pemberian kuota tangkap.

“PNBP kecil dan tidak akan seberapa dibanding dampak eksploitasi yang terjadi akibat eksploitasi berlebih, apalagi dengan kapasitas pengawasan yang saat ini masih lemah, ungkapnya.

Di laut Arafura, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, patroli penangkapan ikan hiu dan pari pengawasan tidak berlangsung rutin oleh pihak Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan.

“Anggaran pengawasan terbatas, operasional kapal patroli PSDKP hanya 42 hari dalam setahun,” sebutnya.

Dibanding luas wilayah penangkapan WPP 718 dan keberadaan SAP Aru bagian Tenggara yang memerlukan pengawasan intensif, ini merupakan hal yang memprihatinkan. (Iam/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat