Tidak Efektifnya Aturan Pembatasan Perburuan Ikan Hiu di Indonesia
PENELITI Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Asrul Setyadi menyoroti komitmen pemerintah Indonesia dalam mengendalikan penangkapan hiu dan pari.
Saat ini ada 2 kebijakan dan regulasi tentang hal ini yaitu Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi dan Pengelolaan Hiu dan Pari 2016-2020 dan Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2021 Tentang Kuota Pengambilan Untuk Pemanfaatan Jenis Ikan Yang Dilindungi Terbatas Berdasarkan Ketentuan Nasional Dan Jenis Ikan Dalam Appendiks II Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora.
“Dokumen RAN 2016-2020 tidak efektif karena tidak memuat secara lengkap peran dan tanggung jawab para pihak, kerangka waktu dan pendanaan sehingga sulit untuk mengevaluasi pelaksanaanya,” kata Asrul dalam keterangannya, Senin (23/8).
Setelah berakhir tahun 2020 lalu, belum ada dokumen RAN terbaru yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Sementara Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 21/2021, hal ini merupakan inisiatif dan terobosan KKP untuk mengendalikan penangkapan hiu dan pari.
“Implementasi Permen KP ini akan menghadapi tantangan pada aspek pengawasan dan pencatatan karena selama ini petugas kesulitan melakukan identifikasi jenis hiu yang ditangkap dan sudah diolah” kata Asrul.
Selain itu, pihaknya juga menyoroti besaran dan penentuan kuota kepada provinsi yang kurang proporsional.
“DKI Jakarta memiliki kuota terbanyak, padahal potensi dan penangkapan tidak diakukan di laut DKI yang sudah tertekan,” kata Asrul.
Ini bisa menjadi celah perdagangan oleh pelaku yang akan mentransportasikan hasil tangkapan hiu dan pari dari luar Jakarta untuk melaporkan dan terdata di Jakarta.
Dirinya mencurigai jika upaya pengendalian melalui Peraturan Menteri ini merupakan cara KKP untuk memperoleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pemberian kuota tangkap.
“PNBP kecil dan tidak akan seberapa dibanding dampak eksploitasi yang terjadi akibat eksploitasi berlebih, apalagi dengan kapasitas pengawasan yang saat ini masih lemah, ungkapnya.
Di laut Arafura, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, patroli penangkapan ikan hiu dan pari pengawasan tidak berlangsung rutin oleh pihak Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan.
“Anggaran pengawasan terbatas, operasional kapal patroli PSDKP hanya 42 hari dalam setahun,” sebutnya.
Dibanding luas wilayah penangkapan WPP 718 dan keberadaan SAP Aru bagian Tenggara yang memerlukan pengawasan intensif, ini merupakan hal yang memprihatinkan. (Iam/OL-09)
Terkini Lainnya
Kapal Nelayan Tenggelam, Bocah Terombang-ambing di Perairan Pulau Padar
Cuaca Buruk Selat Malaka Pengaruhi Harga Ikan di Aceh
Angkatan Laut Australia Tangkap Tiga Nelayan NTT Selundupkan Warga Tiongkok
Segera Dibangun Kampung Nelayan Modern di Pekalongan
GNTI, Sayap Partai PDIP, Gelar Pameran UMKM Kerakyatan
Menteri Kelautan Berharap Ada Akses Internet Murah bagi Nelayan dari Elon Musk
Puti Malabin, Seekor Harimau Sumatra Kembali ke Habitatnya
Bandung Zoo Lepas Liarkan 5 Satwa di Karawang
Tersangka Penjual Sisik Trenggiling Diancam 5 Tahun Penjara dan Denda Rp100 Juta
Lebih dari 600 Ribu Satwa Liar Lahir Sepanjang 2015 hingga 2024
Seekor Gajah Sumatra Lahir di Pusat Konservasi Gajah Riau
Tujuh Satwa Dilindungi dari Kandang di Rumah Bupati Langkat Jalani Rehabilitasi
Tantangan Pendidikan di Indonesia
Membenahi Pola Tata Kelola PTN-BH
Ngariksa Peradaban Nusantara di Era Digital
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap