visitaaponce.com

Dirjen PPI Laksmi DewanthiNegosiasi Agenda Krusial COP26 Raih Kemajuan

Dirjen PPI Laksmi Dewanthi: Negosiasi Agenda Krusial COP26 Raih Kemajuan
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dhewanthi, MA.(Ist)

DIRJEN Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Laksmi Dhewanthi, MA, mengungkapkan, ada kemajuan besar dalam pelaksanaan Conference of the Parties atau COP26 atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim PBB yang diselenggarakan di Glasgow, Inggris Raya mulai 31 Oktober hingga 12 November.

Kemajuan yang dimaksud adalah telah disepakatinya prosedur dan teksa tau narasi untuk membahas isu-isu krusial.

“Ini suatu kemajuan besar, karena biasanya dalam forum seperti ini, dalam seminggu belum selesai, bagaimana pendekatan dan basis teksnya. Ini sutau kemajuan dalam konteks negosiasi dalam 2-3 hari pertama. Selanjutnya proses negosiasi tengah berlangsung”, ungkap Laksmi dalam pernyataan tertulis mengenai perkembangan COP26 dari Glasgow, Sabtu (6/11/2021).

Karena agenda-agenda prosedural sudah selesai dibahas dan sudah ada teks dasar untuk dinegosiasikan, maka negosiasi dilanjutkan dengan bahan yang sama.

Kemarin, isu krusial sudah tercapai kesepakatan bagaimana mereka akan menegosiasikan dan basis teks apa yang akan dibahas dalam proses negosiasi.

Berdasarkan hal itu, meeting selanjutnya, para negosiator sudah mulai  melakukan negosiasi secara aktif dengan prosedur dan basis teks/narasi  yang memang sudah disepakati.

Diungkapkan Laksmi, semua agenda-agenda krusial negosiasi sudah dibahas. Di awal dua tiga hari pertama, dibahas isu proses prosedural, sebab di masing-masing  sudah ditentukan siapa yang menjadi ketua dan juga wakil ketua atau fasilitator dan mereka sudah mendiskusikan.

Misalnya, isu adaptasi, bagaimana krusial itu selsai dibaas pendekatannya, apakah dilakukan pertemuan –pertemuan informal dahulu atau langsung pertemuan formal. 

Ini langkah awal sudah diselesaikan, basis teks dan prosedur sudah ada dan diharapkan negosiasi lebih baik dan efektif. “Memang hasilnya belum dapat dikatakan bagaimana, karena proses negosiasi tengah berlangsung. Dan ini negosiasi akanberjalan dengan baik” katanya

Menurut Dirjen PPI Laksmi Dhewanthi, negosiator Indonesia sudah menyampaikan apa yang menjadi harapan Indonesia, ekspektasinya seperti apa dan posisi Indonesia sudah disampaikan dan sudah terefleksikan dalam perkembangan  di COP 26 ini. 

“Jadi kita melihat basis teksnya apa yang kita butuhkan untuk negosiasi, kemudian prosedurnya juga kita sampaikan apa yang menjadi keinginan Indonesia,” tandas Laksmi

Dikemukakan Laksmi Dewanthi, delegasi Indonesia membagi 12 kelompok negosiasi. Sebab selaian isu-isu krusial juga ada isu-isu lain yang perlu dinegosiasikan.

Dalam satu kelompok negosiasi, terdapat rata-rata 2-3 orang . Ada juga satu kelompok negosiasi yang terdiri atas 4-5 orang. dari unsur kementerian, lembaga dan pemangku kepentingan. 

Saatnya Implementasikan Paris Agreement 

Laksmi menuturkan, pelaksanaan COP26 di Glasgow Inggris ini sangat penting mengingat ini, pertama,  hajat yang tertunda karena pandemi Covid-19, yang semestinya dilakukan pada November 200. Kedua, persetujuan Paris atau Paris Agreement ini mulai berlaku pada 1 Januari 2021.

Untuk bisa memastikan mengimplementasikan  Paris Agreement dan target-targetnya,   tentu saja dibutuhan kelengkapan pedoman turuan dan aturan implementasinya (Paris Rules Book).

“Jadi COP 26 ini penting karena inilah waktunya di mana negara-negara pihak dapat menyelesaikan perundingan untuk bisa mendapatkan Paris Rules Book,” tegas Laksmi.

Lebih lanjut Laksmi menjelaskan, sejumlah isu-isu krusial berusaha untuk diselesaikan dalam pelaksanaan COP26 ini. Pertama, operasionalisasi dari artikel 6 Perjanjian Paris atau Paris Agreement yakni terkait instrument pasar dan nonpasar (market-nonmarket ) atau carbon pricing pemenuhan Nationally Determined Contributions (NDC) yang berisi target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga tahun 2030.

Kedua, lanjut Laksmi, kerangka waktu pelaporan NDC atau Common Time Frame for NDC. Jadi negara-negara harus sepakat kapan waktu yang pas untuk bisa melaporkan capaian NDC-nya. Aadperiode waktu apakah 5 atau 10 tahun sekali dan ini yang sedang dirundingkan.

Selanjutnya ketiga, mengenai metodologi. Hal ini terkait bahwa NDC adalah dokumen komitmen, sehingga NDC harus  bisa ditelusuri, atau di-track dan dilaporkan.

Untuk bisa menelusuri dan melaporkan NDC dibutuhkn ksepakatan, bagaimana format pelaporann elektronik terkait implementasi aksi mitigasi, aksi adaptasi, dan dukungan finansial,peningkatan kapasitas, dan teknologi (Common Reporting Format, Common Reporting Tables). Jika laporannya beberda beda, agak sulit disintesakan.

“Keempat, Global Goal on Adaptation atau kesepakatan untuk mendefinisikan tujuan global adaptasi,” katanya.

Sedangkan isu krusial kelima yakni finance atau pendanaan. Ini ada dua hal penting dalam kaitan pendanaan.

"Pertama, bagaimana kita bisa memastikan rencana rencana atau janji negara maju untuk membantu negara berkembang yang sejak lama dijanjikan tapi belum dipenuhi," jelasnya.

'Isu kedua finance, bagaimana kita setting New Collective Quantified Goal (NCQG) nanti pada 2030-2050 itu berapa sebenarnya dana yang akan dimobilisasi. Karena jika tidak ada target baru yang kuantitatif, nanti akan sulit mengukurnya.

”Kalo kita bilang perlu dana yang memadai dan cukup , akan sulit mengukurnya. Jadi perlu collective quantified goal,”tambahnya. (RO/OL-09)
 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat