visitaaponce.com

43 Persen Pasien Diabetes Berisiko Alami Diabetik Retinopati

43 Persen Pasien Diabetes Berisiko Alami Diabetik Retinopati
Seorang dokter memeriksa mata pasien di Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) di Mataram, NTB.(ANTARA/Ahmad Subaidi)

DOKTER spesialis mata dari Universitas Indonesia Gitalisa Andayani mengatakan sebanyak 43% pasien diabetes ini memiliki risiko menderita diabetik retinopati, penyebab utama kebutaan pada populasi usia kerja, dan 26% di antara mereka juga memiliki risiko kehilangan penglihatan.

Gitalisa, dalam konferensi pers daring, dikutip Selasa (18/10), mengatakan pada penderita diabetes, terlalu banyak gula darah dapat merusak pembuluh darah kecil di dinding belakang bagian dalam mata (retina) atau bisa saja menyumbat pembuluh darah secara keseluruhan.

"Diabetic Macular Edema (DME) secara umum diakibatkan oleh keadaan hiperglikemia pada pembuluh darah retina yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama pada penderita retinopati diabetik," kata Gitalisa.

Baca juga: Penderita Diabetes Diingatkan untuk Rutin Periksa Kesehatan Mata

DME merupakan salah satu gangguan penglihatan berat yang kerap terjadi pada usia produktif (di bawah 50 tahun).

Pada akhirnya, DME mampu menyebabkan hilangnya produktivitas hingga pendapatan.

"Secara sosial pun, DME akan mempengaruhi hubungan dengan keluarga, komunitas, bahkan dengan masyarakat secara luas, sehingga tidak jarang penderitanya mengalami stres," ujar Gitalisa.

Gejala awal DME, jelas dia, biasanya diawali dengan penglihatan yang mulai kabur, lalu hilangnya warna kontras yang bisa dikenali mata, sampai akhirnya timbul titik buta.

"Maka, perlu kita pahami apa saja faktor risikonya. Beberapa faktor risiko DME seperti menderita Diabetes Melitus (DM) dalam waktu yang sudah panjang, memiliki riwayat hipertensi dan hiperkolesterol, obesitas, serta tidak mampu mengontrol gula darah," katanya.

Dia menegaskan perlunya skrining DME, terutama untuk orang yang punya penyakit diabetes.

Pasien dengan diabetes melitus tipe 1 direkomendasikan untuk melakukan skrining 3-5 tahun setelah terdiagnosa diabetes melitus.

Sementara itu, penderita diabetes melitus tipe 2 perlu melakukan skrining segera setelah terdiagnosis DM, lalu kemudian dianjurkan untuk melakukan skrining ulang setiap tahun.

"Kemudian diagnosis DME ditegakkan setelah ditemukan adanya penurunan tajam penglihatan, gambaran khas pada makula dengan pemeriksaan funduskopi dan adanya penebalan makula yang disertai dengan ditemukannya gambaran penebalan makula pada Optical Coherence Tomography (OCT)," tambahnya.

Pasien diabetes melitus bisa mengalami perkembangan penyakit retina, mulai dari NPDR (Non-Prolifereative Diabetic Retinopathy) yang ringan hingga berat.

Kemudian, penyakit itu dapat berkembang menjadi PDR (Proliverative Diabetic Retinopathy) awal, risiko tinggi, dan tingkat lanjut.

"Dalam setiap tahapan tersebut dapat berubah menjadi DME jika kelainan terjadi pada makula dan jika tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan kebutaan," kata Gitalisa.

Sementara itu, dokter spesialis mata dari Universitas Indonesia Elvioza mengatakan perlu tatalaksana yang tepat untuk DME.

Elvioza menjelaskan penanganan terapi DME dapat difokuskan menjadi dua, yaitu kontrol faktor sistemik dan memberikan terapi okuler.

Kontrol faktor sistemik bertujuan mencegah retinopati dan progresivitas penyakit dengan cara mengontrol gula darah, tekanan darah, dan kadar lemak darah.

"Sedangkan terapi okuler bertujuan mencegah kehilangan penglihatan dan memperbaiki penglihatan dengan cara terapi anti-VEGF, terapi laser, dan steroid," tutur Elvioza.

Hanya saja, tambahnya, memang masih banyak tantangan dalam menangani DME selama ini.

Beberapa di antaranya terkait dengan ketiadaan dorongan untuk melakukan skrining secara dini, biaya terapi yang cukup tinggi, kurang optimalnya komunikasi dari penyedia layanan kesehatan dan pasien tentang biaya dan manfaat obat, serta yang juga masih menjadi tantangan besar adalah kerap kali pasien tidak patuh melakukan kontrol dan pengobatan.

"Saat ini, pengobatan untuk DME sudah berkembang dan inovatif. Pada penelitian Protocol T yang dilakukan oleh DRCR.net (Diabetic Retinopathy Clinical Research Network), menunjukkan bahwa ketiga anti-VEGF (Aflibercept, Ranibizumab dan Bevacizumab) menunjukkan efikasi yang sama baiknya pada pasien dengan penurunan penglihatan tidak terlalu berat. Namun, pada pasien dengan kondisi berat, Aflibercept menunjukkan efikasi yang lebih baik," jelas dia.

Dalam hal pengobatan awal yang optimal, tambahnya, penelitian VIVID dan VISTA memberikan bukti bahwa pengobatan yang intensif untuk DME memberikan manfaat yang lebih baik. Penelitian VIVID dan VISTA menggunakan injeksi dibandingkan dengan pengobatan dengan laser.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa injeksi aflibercept dengan lima dosis awal memberikan manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan laser.

Selain itu, beberapa bukti dari kondisi nyata sehari-hari juga memberikan kesimpulan yang sama saat pasien dengan pengobatan dini dan intensif, memberikan perbaikan penglihatan yang lebih baik dibandingkan pengobatan dengan aflibercept yang tidak intensif.

"Penglihatan itu bukan segalanya, tapi segalanya tidak ada artinya tanpa penglihatan. Jadi, jagalah penglihatan dengan kontrol lebih dini. Bila ada diabetes melitus, kontrol ke dokter mata lebih dini, pengobatan hasilnya akan lebih baik bila diobati sejak awal," kata dia. (Ant/OL-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat