visitaaponce.com

Catatan FSGI Kebijakan Merdeka Belajar Masih Jauh dari Harapan

Catatan FSGI: Kebijakan Merdeka Belajar Masih Jauh dari Harapan
Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim saat menyampaikan sambutan.(MI/Agung Wibowo)

FEDERASI Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat bahwa kebijakan paling menghebohkan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim adalah kebijakan 'Merdeka Belajar' yang berjilid-jilid. 

Seolah tak berujung, kebijakan yang sebenarnya baik secara konsep itu dinilai belum berhasil membumi dan menimbulkan potensi pendidikan Indonesia tengah berada pada fase konflik.

“Cerita Merdeka Belajar yang berjilid-jilid dan tidak pernah selesai seakan menuju akhir episode yang menghawatirkan. Gagasan kebijakan sampai implementasi di lapangan masih jauh panggang dari api,” ujar Sekjen FSGI Heru Purnomo dalam keterangannya, Sabtu (31/12).

Sebenarnya, lanjut dia, Merdeka Belajar yang diusung Kemendikbud-Ristek memiliki tujuan untuk mencapai pendidikan berkualitas. Hal itu dilakukan melalui transformasi pada 4 hal, yaitu infrastruktur dan teknologi, kebijakan, prosedur dan pendanaan untuk kepemimpinan masyarakat dan budaya, serta kurikulum pedagogis dan penilaian (asesmen). 

"Namun, tampaknya di level pemahaman kebijakan ini saja, masih jauh dari harapan," pungkas Heru.

Baca juga: HGN 2022: Nadiem Ajak Guru Terus Berinovasi Ciptakan Perubahan

Sejak konflik merek Merdeka Belajar, FSGI selaku organisasi profesi guru telah memberikan kritik dan rekomendasi. Akan tetapi kebijakan itu terus ditayangkan bahkan kini telah mencapai 22 Episode.

“Benarkah semuanya telah menuju kearah transformasi pendidikan Indonesia, apakah setiap episodenya berjalan berkesinambungan, apakah dapat terlihat masa depan pendidikan Indonesia yang berkualitas ataukah justru terbaca tujuan spekulatif yang tidak berkelanjutan?," tutr Wakil Sekjen FSGI Mansur.

Dijelaskannya, terobosan Merdeka Belajar Episode-1, dengan empat bidang sasaran, yaitu mengganti UN menjadi Asesmen Nasional, bahkan membatalkan UN 2020. Kemudian menghapus USBN yang bertepatan dengan pandemi Covid-19, menyederhanakan RPP menjadi 1 lembar dan menyesuaikan kuota jalur prestasi maupun zonasi.

“Kebijakan ini telah cukup memberi angin segar pendidikan Indonesia ketika itu. Kenyataannya adalah tidak semua episode Merdeka Belajar berdampak bagi pendidikan, bahkan tidak sedikit yang dinilai kontra produktif terhadap kelangsungan program pendidikan di Indonesia," tambah guru dan Wakasek di Lombok Barat itu.

Ketika Episode-4 Program Organisasi Penggerak (POP) diluncurkan, kontan berbagai reaksi ketidakpercayaan publik mengemuka. FSGI pun memberikan kritik keras dimulai dari proses rekrutmen hingga model impelementasinya. "Apa yang terlihat hingga paruh ke-2 tahun bukanlah sebuah kemajuan yang diharapkan," sambung Kepala Bidang Diklat FSGI Eka Ilham.

Eka menambahkan dari fakta lapangan diketahui bahwa kebanyakan pelatihan model online yang diikuti oleh para guru sekolah sasaran sebatas pelatihan 1–3 jam atau paling lama dengan durasi 3 hari. Selain itu juga banyak berisi teori tanpa dibekali praktik dan tidak disertai pendampingan. 

Baca juga: Jokowi Dinilai Merawat Kebudayaan Lewat Sektor Pendidikan

Sementara para guru justru bingung saat akan mencoba mengimplementasikan, karena tidak ada contoh-contoh praktik yang sudah dilakukan. Akibatnya, pelatihan hanya tinggal pelatihan yang berujung sekedar pengetahuan tanpa implementasi.

Pada Episode-5 Program Guru Penggerak (PGP) diniatkan sebagai program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin-pemimpin di masa depan yang mewujudkan SDM unggul Indonesia. Secara konsep program ini sangat baik dan jika berhasil dipercaya dapat menjadi program yang akan berdampak besar pada pendidikan di Indonesia.

Namun, fakta lapangan menunjukkan bahwa proses seleksi dan pelatihan yang lama bagi Calon Guru Penggerak (CGP) bukannya menjamin perubahan paradigma pembelajaran, tetapi justru telah menyita waktu dan tenaga para CGP. "Bahkan banyak tugas-tugas pokok guru yang mereka abaikan hanya untuk mengejar status lulus," jelas Fahmi Hatib, Presidium FSGI.

Kebijakan Kemendikbud-Ristek sebagian besar energi dikerahkan kepada guru penggerak. “Iming-iming calon kepala sekolah, bahkan perubahan nama kantor menjadi serba guru penggerak hanya akan berdampak pada kuantitas yang belum tentu berkelanjutan,” tambah Fahmi yang juga Kepala Sekolah di kabupaten Bima.

Padahal logikanya, pola pembelajaran daring melalui LMS dengan sesekali pertemuan luring tidak sepenuhnya mengubah pola pikir dan pola tindak CGP.

Baca juga: Nadiem dan Elon Musk Berdialog dengan 400 Mahasiswa Indonesia

Apalagi kriteria lulus yang lebih bersifat administratif belaka hanya mengejar kuantitas dan sangat jauh dari cita-cita perubahan paradigma pembelajaran yang berkualitas.

Episode-7 Program Sekolah Penggerak, dimaksudkan untuk mengembangkan agen perubahan di sekolah-sekolah yang diawali dengan pemberdayaan kepala sekolah dan guru menjadi SDM unggul. Hal itu bisa terwujud melalui kolaborasi dengan pemerintah daerah dan intervensi yang holistik dalam hal pembelajaran, perencanaan, digitalisasi, sampai pendampingan.

FSGI mendorong pemerintah daerah melalui dinas-dinas pendidikan untuk bersinergi demi keberlangsungan suatu program pendidikan yang baik. Hal itu pun dapat tercapai jika disertai penyiapan SDM melalui pelatihan-pelatihan berkualitas, infrastruktur memadai, komitmen semua pihak di lingkungan pendidikan dan ada evaluasi berkala.

Kemendikbud-Ristek perlu berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pelatihan-pelatihan yang massif dan berkualitas untuk para kepala sekolah dan pendidik. Sebab, pemahaman kurikulum dan paradigma baru pembelajaran dapat disosialisasikan secara terstruktur dan masif ke semua guru dan satuan pendidikan.(OL-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat