visitaaponce.com

Korban Gagal Ginjal Anak Dibilang Bohong, Ombudsman Fakta Riil Sudah Ada Korban

Korban Gagal Ginjal Anak Dibilang Bohong, Ombudsman: Fakta Riil Sudah Ada Korban
LANJUTAN SIDANG KASUS GAGAL GINJAL DI PN JAKARTA PUSAT, RABU (9/3).(MI/Mohammad Irfan)

PARA tergugat menuding keluarga korban kasus gagal ginjal anak berbohong pada sidang 9 Maret lalu di PN Jakpus. Tudingan tidak berdasar itu tidak etis dilontarkan karena fakta sudah jelas menunjukkan ada korban meninggal dan masih dirawat.

Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng mengatakan, tudingan para tergugat tersebut hanya akan menambah situasi semakin runyam.

"Kita meminta pemerintah atau tergugat jangan mengeluarkan pernyataan ataupun tudingan yang bisa menambah runyam situasi," katanya saat dihubungi pada Sabtu (11/3).

Baca juga : Ada Upaya Gagalkan Kasus Gagal Ginjal Akut Anak

Robert menerangkan bahwa keluarga korban gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) anak ini ibarat 'sudah jatuh dan tertimpa tangga'.

"Saya kira biarkanlah semua berproses secara maladministrasi pelayanannya di Ombudsman dan proses pidananya biarkanlah nanti penegak hukum yang akan menjalankannya, itu harus jadi sikap," cetusnya.

Baca juga : Gagal Ginjal Akut, Komnas HAM Soroti Peran Kemenkes dan Badan POM

Fakta riil menunjukkan bahwa sudah ada korban, sudah ada yang meninggal, pihak Pemerintah harus bisa mengupayakan cara bahwa negara hadir dalam kehidupan para korban.

"Termasuk bagi yang sudah sembuh pun masih butuh penanganan lebih lanjut, karena dampak berkelanjutan dari gagal ginjal ini sama dengan Covid-19, cukup serius. Penanganan pasca perawatan atau operasi tetap menjadi bagian dari tanggung jawab Pemerintah, bukan urusan masing-masing orang tua pasien," tandasnya.

Ia berharap persidangan kasus GGAPA selanjutnya bisa berjalan lancar, karena masalah yang terjadi saat ini adalah problem 'kemanusiaan'.

"Saya kira korban dan keluarga pasien pasti mengharapkan keadilan dan kehadiran negara lewat upaya-upaya yang bisa merasa mereka terbantukan," jelasnya.

Robert menegaskan bahwa kepada perusahaan-perusahaan yang diduga menjadi penyebab di bagian produksi atau distribusi obat, harus ditegakkan lagi saranisasi nya dan juga penegakkan pidananya.

Digugat 3 Kelompok

Hingga 5 Februari 2023, Kementerian Kesehatan mencatat ada 326 kasus GGAPA dan 200 anak di antaranya meninggal dunia. Para korban melakukan class action untuk mendapatkan keadilan di mata hukum atas hilangnya nyawa anak-anak tidak bersalah. Class action ini didaftarkan oleh 25 keluarga korban GGAPA pada 15 Desember 2022.

Ada 10 pihak yang menjadi tergugat dalam perkara ini, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industry, CV Samudera Chemical, PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, dan PT Megasetia Agung Kimia.

Kemudian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), serta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) serta turut tergugat yakni Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Para penggugat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I terdiri dari keluarga 18 pasien yang meninggal karena mengonsumsi obat dari PT Afi Farma Pharmaceutical Industry.

Lalu, kelompok II adalah keluarga dari pasien yang masih dirawat jalan dan rawat inap. Total enam orang pasien.

Kelompok III yaitu keluarga dari pasien yang meninggal tetapi obat yang diberikan rupanya berbeda. Kelompok ini diberikan obat dari PT Universal Pharmaceutical Industry.

Dalam persidangan 28 Februari 2023 lalu, Ketua Majelis Hakim Yusuf Pranowo mengatakan, sidang masih pada tahap memeriksa formalitas gugatan, belum masuk pokok perkara. Ia meminta para tergugat untuk memberikan tanggapannya secara tertulis.

Kekecewaan Keluarga GGAPA

Pada sidang keempat di 9 Maret 2023, tergugat menyebut korban berbohong. Ratih Susilawati, 27, salah satu ibu dari korban GGAPA sangat sedih dengan perkataan itu. Hilangnya nyawa anaknya seolah tidak ada artinya bagi para tergugat. Padahal, dia dan sang suami harus meninggalkan pekerjaan mereka sebagai penjual sate demi mendapatkan keadilan.

"Saya kecewa tergugat bilangnya kita enggak jujur. Padahal kita punya bukti obat dari awal sampai meninggal anak kita, kita simpan obatnya. Saya kecewa sama tergugat, bisa-bisanya mereka bilang begitu," ucap Ratih.

Habibi juga melontarkan hal yang sama. "Saya jelas kecewa karena tergugat mengatakan kami tidak jujur. Dari mana sisi tidak jujurnya. Anak kami meninggal dan ada juga yang dirawat dengan kondisi yang belum normal masih dibilang tidak jujur. Obat yang dikonsumsi jelas disebut dari PT. Afi Farma Pharmaceutical Industry dan PT. Universal Pharmaceutical Industries. Jadi kalau kita dikatakan tidak jujur salah besar. Harusnya mereka menolak saja gugatan bukan mengatakan kami berbohong," tandas Habibi.

Kejelasan mengenai kasus gagal ginjal akut pada anak masih belum menemukan titik terang. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan memutuskan untuk sidang lanjutan pada tanggal 21 Maret 2023. (Z-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat