visitaaponce.com

Pengawasan Lemah, Unair Dorong UU Pengawasan Obat dan Makanan Disahkan

Pengawasan Lemah, Unair Dorong UU Pengawasan Obat dan Makanan Disahkan
Suasana sidang class action perkara gagal ginjal akut anak di PN Jakpus.(MI/M Irfan)

PAKAR Farmakologi dan Biofarmasetika Universitas Airlangga (Unair) Prof Junaidi Khotib mengatakan perlu ada inovasi kebijakan dalam mengawasi peredaran obat dan makanan di Indonesia.

Pasalnya, pengawasan obat dan makanan mempunyai dampak yang luar biasa untuk kesehatan maupun keselamatan masyarakat.

“Oleh karena itu, satu-satunya upaya adalah melindungi kepentingan masyarakat dengan cara menegakkan pengawasan untuk obat dan makanan,” tegasnya dalam Seminar Nasional “Inovasi Kebijakan dalam Menghadapi Tantangan Obat dan Makanan” yang diselenggarakan di ASEEC Tower, Surabaya, Kamis, 13 April 2023.

Baca juga : IAI: Kelembagaan Badan POM Masih Lemah Selesaikan Masalah Kefarmasian

Ia mengamini sudah ada pengawasan yang dilakukan saat ini Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Dinas Kesehatan (Dinkes), namun belum optimal. Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan dinilai menjadi solusinya.

"Perlu adanya inovasi-inovasi kebijakan terkait pengawasan obat dan makanan, agar pengawasan dapat diterapkan dengan baik dan terintegrasi,” kata Junaidi.

Baca juga : Perlu Peningkatan Farmakovigilans Cegah Kasus Gagal Ginjal Akut Terjadi Lagi

Junaidi menegaskan bahwa cakupan pengawasan baik secara kualitatif maupun kuantitatif produk kefarmasian di Indonesia sangatlah besar, sehingga membutuhkan otoritas yang memadai dalam pengawasan dari pre hingga post market, sehingga dibutuhkan otoritas yang independen.

Menurutnya, otoritas akan berdampak pada pennguatan kapasitas pengawasan obat dan makanan, serta perbekalan farmasi lainnya yang berujung pada keselamatan dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan otoritas yang kuat, berupa payung hukum melalui RUU Pengawasan Obat dan Makanan (POM).

"Seperti halnya Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat yang setingkat dengan Kementerian, European Medicines Agency (EMA) di Eropa, Ministry of Food and Drug Safety (MFDS) di Korea Selatan dan Pharmaceuticals and Medical Devices Agency (PMDA) di Jepang,” ungkap Junaidi.

Plt Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif, Badan POM RI, Togi Junice Hutadjulu memberikan gambaran betapa kompleksnnya tantangan pengawasan obat dan makanan saat ini, seiring dengan peningkatan kebutuhan dan kemudahan akses untuk mendapatkan produk obat dan makanan, serta kemajuan teknologi yang diiringi dengan tingkat literasi masyarakat yang belum memadai.

Ia menilai, belum mandirinya lembaga pengawasan obat dan makanan, serta lemahnya sistem pengawasan obat dan makanan disebabkan oleh lemahnya regulasi, penataan kelembagaan, dan terbatasnya sumber daya pemerintah dalam pengawasan obat dan makanan.

“Badan POM terus berupaya meningkatkan pengawasan obat dan makanan, salah satunya dengan menambah loka di daerah-daerah yang berarti juga menambah sumber daya manusia (SDM),” ungkap Togi.

Ia menilai bahwa perlu adanya penguatan sistem pengawasan obat dan makanan, kemandirian, serta perkuatan kelembagaan ke depannya, agar peran dan tugas fungsi BPOM  sebagai regulator dan pengawas, dapat maksimal dalam melindungi masyarakat dan dunia usaha/industri dari kejahatan terkait obat dan makanan. (RO/Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat