Negara Harus Asuh Anak untuk Tidak Merokok, Jangan Dihukum
![Negara Harus Asuh Anak untuk Tidak Merokok, Jangan Dihukum](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2023/05/f5285ade0df5932b209bbd68f730ccfe.jpg)
LENTERA Anak meminta masyarakat dan negara melindungi anak agar tidak merokok, bukan menyalahkan anak merokok. Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari menyebut akar masalah sesungguhnya bukan pada anak, tetapi pada ketidakhadiran negara itu sendiri yang minim regulasi dan upaya preventif untuk melindungi anak dari rokok.
Menanggapi pemberitaan yang marak terkait usulan PJ Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, untuk mencabut Kartu Jakarta Pintar (KJP) pelajar yang ketahuan merokok, Lisda menegaskan aturan itu tidak berdampak langsung pada kasus anak yang merokok.
“Kita terkadang begitu mudah menyalahkan dan menghukum anak yang merokok, padahal kita sadar perilaku merokok ini disebabkan anak secara psikologis memang sedang berkembang, dan mudah dipengaruhi. Sehingga alih-alih menyalahkan anak, justru kita seharusnya membentengi anak dari pengaruh yang buruk dengan membuat perlindungan yang kuat melalui regulasi,” tegas Lisda di Jakarta, Minggu (7/5).
Ia menegaskan Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak tahun 1990, sehingga Pemerintah Indonesia seharusnya memiliki kewajiban untuk melindungi hak anak, salah satunya hak anak untuk sehat.
Menurut Lisda, negara harus hadir melindungi kesehatan masyarakat Indonesia tanpa kecuali, termasuk anak, melalui penerbitan regulasi yang berpihak pada kesehatan masyarakat. Salah satunya melalui regulasi yang melindungi anak dari zat adiktif. Karena anak-anak terus menjadi korban bahaya rokok melalui paparan asap rokok dan gempuran iklan, promosi dan sponsor rokok yang masif.
Sudah banyak studi menjelaskan relasi dari paparan iklan rokok yang terus menerus terhadap keinginan untuk merokok. Anak-anak yang secara psikologis masih sedang berkembang akan mudah dipengaruhi oleh kepungan iklan dan promosi rokok dengan visual dan tagline dengan gaya hidup anak muda yang kreatif, keren dan macho.
Di alam bawah sadarnya akan tertanam bahwa rokok adalah produk normal karena iklannya tidak dilarang, padahal sejatinya rokok adalah produk berbahaya dan tidak normal. Rokok mengandung 7000 zat berbahaya dan 69 di antaranya memicu kanker.
Lisda menegaskan, Negara tidak bisa hanya menyerahkan upaya perlindungan anak hanya kepada orang tua dan masyarakat. Karena kondisi anak dan remaja yang sedang berkembang sangat rentan dipengaruhi berbagai faktor, tidak saja dari paparan pemasaran rokok melalui iklan, promosi, dan sponsor yang masif, tapi juga kemudahan akses terhadap rokok dari sisi harga maupun ketersediaannya.
“Karena itu Negara tetap harus hadir melalui pemihakan kebijakan,” tegasnya. Apalagi menurut Lisda, jumlah perokok anak terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan prevalensi merokok penduduk usia anak 10-18 tahun naik dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Prevalensi perokok anak juga semakin tinggi pada anak dari keluarga dengan penghasilan menengah ke bawah, sehingga kondisi kerentanan sebagai anak dari kelompok rentan, semakin ditambah dengan kecanduan rokok sejak dini.
Sebenarnya, jelas Lisda, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Pemerintah telah menargetkan penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024 dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Namun hingga saat ini belum jelas bagaimana nasib revisi PP 109 tahun 2012 tersebut, meskipun sudah diamanahkan dalam Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah tahun 2023.
Padahal, dari hasil polling di rubrik Indikator Tempo.co pada periode 11-18 Juli 2022 menunjukkan, mayoritas responden (78 persen) menginginkan pemerintah membuat regulasi yang kuat untuk melindungi anak menjadi perokok. Ini menunjukkan bahwa kepedulian masyarakat terhadap upaya perlindungan anak dari rokok masih cukup tinggi.
Oleh karena itu, saat ini tinggal tergantung pada niat baik pemerintah, apakah akan bersungguh-sungguh melindungi kepentingan anak sesuai amanat Konvensi Hak Anak, ataukah akan terus menerus mencari kambing hitam dari kesalahan yang dilakukan anak karena ketidaktahuan dan kerentanan mereka sebagai anak. (H-1)
Terkini Lainnya
Pastikan Subsidi Tepat Sasaran, Sosialisasi dan Koordinasi Harus Digencarkan
Gim Daring Jadi Pintu Masuk Anak-Anak Terjebak Judi Online
Simas Jiwa Sosialisasikan Aksi Hidup Bersih kepada Warga Petamburan
Jelang Puncak Bonus Demografi, Urgensi Pemberdayaan Konsumen di Ekosistem Ekonomi Digital
Pengelolaan Dana Tapera yang Belum Jelas Jadi Pemicu Kebingungan Masyarakat
NasDem Minta Usulan Amendemen UUD 1945 Harus Melibatkan Aspirasi Publik
5,8 Juta Balita Alami Masalah Gizi
Donor Darah Berikan Sejumlah Manfaat Kesehatan
Ini Gejala Stroke di Usia Muda dan Cara Pencegahannya
Ini Makanan Berwana Putih yang Harus Di Waspadai Penderita Diabetes dan Hipertensi!
8 Manfaat Buah Sawo Bagi Kesehatan yang Jarang Diketahui
Kata Dokter, Olahraga Sambil Nonton Drakor Cukup
Tantangan Pendidikan di Indonesia
Membenahi Pola Tata Kelola PTN-BH
Ngariksa Peradaban Nusantara di Era Digital
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap