visitaaponce.com

Aborsi dalam RUU Kesehatan Dinilai Berpihak pada Korban Kekerasan Seksual

Aborsi dalam RUU Kesehatan Dinilai Berpihak pada Korban Kekerasan Seksual
Ilustrasi aturan kesehatan(MI/Seno )

PERUBAHAN aturan terkait aborsi pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dinilai dapat berpihak korban kekerasan seksual. Dalam Pasal 42 RUU Kesehatan aborsi dapat dilakukan pada usia sebelum kehamilan berumur 14 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis. Sementara pada regulasi eksisting yakni Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan sebelum kehamilan berumur 6 minggu.

"Kesehatan reproduksi dalam draft RUU Kesehatan bukan cuma soal umur kehamilan, apa yang boleh dilakukan aborsi UU Kesehatan Pasal 75 pertama karena indikasi medis dan korban perkosaan yang menimbulkan beban psikologis," kata Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan Kementerian Kesehatan Sundoyo di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta selatan, Rabu (24/5).

Selain itu, ada juga saat ini korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dinilai juga bisa dilindungi haknya oleh pasal-pasal dalam RUU Kesehatan termasuk pasal mengenai aborsi.

Baca juga: Komnas Perempuan Beri Beberapa Catatan untuk Poin Aborsi dalam RUU Kesehatan

"Saat ini ada juga korban penjualan orang, itu sudah diatur dalam KUHP. Ini kami coba masukan dalam RUU Kesehatan karena lebih maju untuk menangkap hal demikian," ujarnya.

Sementara itu, Perwakilan Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat (IPAS) Igna, mengapresiasi upaya revisi RUU Kesehatan untuk transformasi sistem kesehatan. Namun masih ada banyak pasal-pasal yang masih perlu diperbaiki,

Baca juga: Polisi Bongkar Praktik Aborsi Ilegal, Lima Orang Ditangkap

"Organisasi kami menyoroti terkait pasal aborsi, di mana kami mengapresiasi bahwa ada peningkatan usia kehamilan menjadi 14 minggu bagi korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya yang menyebabkan kehamilan. Beberapa masukan untuk pertimbangan dalam penguatan pasal aborsi, karena ada statemen-statemen di luar bahwa 14 minggu tidak aman," jelasnya.

Ia menjelaskan secara klinis, aborsi tidak aman risikonya meningkat sesuai pertambahan usia kehamilan, salah satu tantangan di Indonesia masih dipakainya kuret tajam sebagai metode untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang sudah sejak 2011 dan tidak direkomendasikan oleh International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO).

Kemudian pada 2012 juga tidak direkomendasikan oleh WHO. Intervensi klinis medis menggunakan kuretase tajam perlu diubah dan Kemenkes sudah punya dengan pedoman nasional pasca keguguran yang mengatur perubahan dari kuret tajam ke metode yang direkomendasikan WHO. Pada 2018 POGI sudah membuat Pedoman Nasional Pelayanan. Kedokteran (PNPK) keguguran yang diterima oleh kemenkes untuk mengubah dari kuret tajam menjadi metode yang direkomendasikan oleh WHO.

"Maka sebenarnya sudah ada metode yang aman yang bisa digunakan, sehingga perempuan korban kekerasan seksual dan perkosaan yang mengalami kehamilan bisa mendapat akses yang aman hingga 14 minggu dari pedoman yang sudah dikeluarkan WHO dan FIGO, sudah direkomendasikan 2 metode mengeluarkan hasil konsepsi yang aman dengan surgical dan obat, jika menggunakan 2 metode ini oleh petugas yang terlatih maka risikonya di bawah 1% dari data," ungkapnya.

"Perlu dipastikan siapa petugas kesehatan yang punya kewenangan dan kompetensi untuk memberikan layanan, perlindungan bagi pemberi layanan perlu jelas di dalam RUU Kesehatan pastikan semua dalam konteks layanan bagi korban kekerasan dan perkosaan," pungkasnya. (Iam/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat