visitaaponce.com

Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Didominasi KDRT

Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Didominasi KDRT 
Ilustrasi KDRT(DOK.MI )

ANALIS Kebijakan Madya Bidang Pidum Bareskrim Polri Kombes Pol. Ciceu Cahyati Dwimeilawati menyampaikan data Polri menunjukkan kasus kekerasan terhadap perempuan dari 2018-2022 masih didominasi oleh kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

"Kasus terbanyak kedua adalah perkosaan dan ketiga pencabulan. Kasus terbanyak KDRT terjadi pada 2020 sebanyak 5.890 kasus. Ini merupakan angka tertinggi dalam 10 tahun terakhir," ujar Ciceu dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Edisi ke-149 bertajuk Apa Masalah Krusial Dalam Penerapan UU PKDRT dan UU TPKS? secara virtual, Rabu (31/5).

Sementara itu, kasus kekerasan terhadap anak dari 2018-2022 terbanyak terjadi pada kasus persetubuhan, pencabulan dan kekerasan fisik serta psikis. Pada 2022 sendiri kasus persetubuhan mencapai 4.707 dan merupakan angka tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun.

Baca juga: Implementasi UU PKDRT dan TPKS Masih Butuh Pendalaman dan Sosialisasi

"Jadi ini sangat tinggi. Kasus persetubuhan anak saat ini banyak dilakukan oleh orang terdekat, keluarga, tetangga, pengajar atau pendidik dan lainnya dengan modus operandi yang semakin kompleks. Data tersebut hanya yang terlaporkan di jajaran tindak pidana umum yang ditangani oleh Unit PPA dan belum mencakup kasus-kasus yang ditangani oleh direktorat siber," lanjutnya.

Ciceu menambahkan, data kasus kekerasan seksual pasca-lahirnya UU TPKS atau sejak 9 Mei 2022 mencapai 155 kasus. Jenis tindak pidana kekerasan seksual terbanyak adalah pelecehan seksual fisik 76 kasus, lalu ada pelecehan seksual non fisik dan eksploitasi seksual.

Baca juga: KDRT Putri Balqis dan Bani Bayumin Dipicu Selisih Paham Pengelolaan Keuangan

Dari jumlah tersebut, penyelesaian perkara yang telah dilakukan di antaranya penyelidikan sebanyak 47 kasus, penghentian penyelidikan 39 kasus, penyidikan 28 kasus, SP3 mencapai 2 kasus, P21 sebanyak 32 kasus dan kasus yang dicabut 7 kasus.

"Jadi crime total ada 155 dan crime clearance ada 80," ucap Ciceu.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang memengaruhi penanganan terhadap kasus kekerasan di antaranya keterbatasan ahli secara kuantitas, kualitas maupun pembiayaan dalam rangka pembuktian dan pendampingan korban.

Kemudian biaya pemeriksaan dalam rangka pembuktian ilmiah yang relatif mahal dan belum sepenuhnya didukung secara gratis oleh pemerintah seperti visum, psikiatrikum, DNA, otopsi, dan lainnya.

"Lalu kesadaran korban untuk mengadukan guna mendukung pembuktian. Juga kondisi korban trauma atau disabilitas yang sulit dimintai keterangan dengan keterbatasan pengada layanan seperti pendamping dan penerjemah bagi penyandang disabilitas. Lalu terbatasnya sarana dan prasarana dalam mendukung proses penanganan kasus perempuan dan anak selain yang dimiliki Polri seperti rumah aman, shelter, LPSK dan lainnya," tegasnya. (Des/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat