visitaaponce.com

Implementasi UU PKDRT dan TPKS Dilematis bagi Penegak Hukum

Implementasi UU PKDRT dan TPKS Dilematis bagi Penegak Hukum
Ilustrasi KDRT(Dok.MI)

JAKSA Ahli Madya pada JAM Pidum Erni Mustikasari menegaskan masih terdapat banyak persoalan yang menyebabkan implementasi UU PKDRT dan TPKS bersifat dilematis bagi penegak hukum.

Dia mencontohkan dari UU PKDRT, di satu sisi UU ini bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, dan menindak pelaku. Tapi di sisi lain juga ingin memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Dilema dari tujuan perlindungan dalam UU PKDRT ini menurutnya dirasakan dalam perlindungan hukum.

"Hakim memandang bahwa tujuan menjaga keutuhan rumah tangga tanpa diikuti pengalaman atau empati menyebabkan kemudian seolah-olah peradilan menggampangkan situasi perdamaian terjadi di depan mata hakim. Sehingga sebelum menutup pemeriksaan, hakim sering meminta korban dan pelaku bermaafan dan mereka melakukannya karena diperintahkan oleh hakim," kata Erni dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Edisi ke-149 bertajuk Apa Masalah Krusial Dalam Penerapan UU PKDRT dan UU TPKS? secara virtual, Rabu (31/5).

Baca juga: Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Didominasi KDRT 

Menurutnya, dengan bermaafan, hakim menganggap bahwa konflik itu sudah selesai bagi mereka dan dijatuhkan hukuman percobaan. Dia beranggapan bahwa dengan pelaku dan korban pulang ke rumah, rumah tangga mereka akan utuh kembali.

"Penindak hukum seharusnya paham, situasi yang sudah seperti bom waktu ini tidak bisa diselesaikan dengan bermaafan hanya karena diperintahkan. Tidak ada yang bisa menolak hakim di sidang. Tapi ketika pulang, sering kali bukan keutuhan rumah tangga yang terjadi karena makin dendam, ada ancaman, intimidasi yang kemudian berakhir dengan perceraian, rebutan anak dan sebagainya. Jadi konflik lain menyusul kemudian. Bahkan pelaku kembali melakukan perbuatannya dan lebih parah karena dendam," sambungnya.

Baca juga: Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Didominasi KDRT 

Erni menekankan bahwa korban khususnya istri sering kali tidak dapat melepaskan diri karena berbagai faktor mulai dari terancam, terintimidasi, malu, anak anak, dan seterusnya. Menurut dia hal ini tentu membutuhkan kehadiran ahli untuk mengukur apakah persoalan dapat selesai dengan hanya berpelukan di depan hakim.

"Bagi hukum, dalam keadaan sesulit apapun anda tidak boleh menyelesaikan persoalan anda dengan melawan hukum dan melanggar kepentingan yang hendak dilindungi oleh hukum. Jadi penganiayaan bukan hal yang dimaafkan oleh hukum apalagi penganiayaan berat berencana. Bagi siapa pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya," tegas Erni.

Namun, menurut Erni perlu diingat, saat ini kita tengah berada pada aliran pemidanaan neo klasik. Aliran ini mendorong banyaknya kebijakan peradilan yang didasarkan pada keadaan objektif dalam menilai suatu perkara.

Menurutnya, riwayat masa lalu dan alasan mengapa melakukan hal tersebut dapat menjadi latar belakang penilaian untuk memutuskan kasusnya.

"Kekerasan psikis bisa menjadi bom waktu yang meledak di kemudian hari. Di masa lalu keadaan ini tidak pernah dihiraukan. Itulah aliran neo klasik. Jika tidak ada alasan yang dapat meniadakan pidana, maka riwayat kekerasan itu tetap dapat menjadi pertimbangan yang dapat meringankan pelaku," tandasnya. (Des/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat