visitaaponce.com

RUU Kesehatan dengan Metode Omnibus Dinilai Terlalu Instan

RUU Kesehatan dengan Metode Omnibus Dinilai Terlalu Instan
Ilustrasi aturan kesehatan(MI/Seno )

PAKAR hukum tata negara dan pengajar STH Jentera Bivitri Susanti menilai pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dengan metode omnibus law akan berbahaya dalam demokrasi karena dinilai terlalu instan.

"Teknik omnibus ini berbahaya dalam konteks proses pembentukkan perundang-undangan demokratis. Alasannya adalah metode ini akan melakukan perubahan dengan cara instan karena itu dia digunakan oleh penguasa dengan menggunakan dengan cara instan," kata Bivitri dalam konferensi pers secara daring, Selasa (13/6).

Kemudian, lanjut Bivitri, metode ini bisa menyembunyikan hal-hal yang harusnya bisa jadi perhatian banyak orang namun luput karena memuat banyak sekali topik. Itu juga yang terjadi pada UU Cipta Kerja, harus ada keterkaitan yang nyata tidak bisa digabung semuanya.

Baca juga: RUU Kesehatan Diminta Jangan Buru-buru Disahkan, Ini Catatan dari Masyarakat Sipil

"Kemudian perihal isi politik hukum RUU Kesehatan ini menempatkan kesehatan sebagai industri bukan kesehatan sebagai hak asasi manusia sehingga tergambar dalam muatannya. Sehingga kendalinya pun dikendalikan di bawah Kementerian Kesehatan," sebutnya.

Menurutnya pembahasan RUU cenderung tertutup dan tanpa partisipasi publik yang bermakna. Bahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa dari 478 pasal dalam RUU Kesehatan, total DIM batang tubuh sebanyak 3020: sebanyak 1037 tetap, 399 perubahan redaksional, dan 1584 perubahan substansi. Akan tetapi DIM yang dibahas sejak Agustus 2022 baru diketahui publik sekitar Maret 2023. Hingga saat ini, publik juga belum disuguhkan draft terbaru RUU Kesehatan.

Baca juga: Pengelolaan Jaminan Sosial Nasional Dikembalikan ke UU SJSN

Di kesempatan yang sama The Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi juga menilai RUU Kesehatan cenderung mengarah pada liberalisasi kesehatan dan mengarah pada komersialisasi layanan kesehatan dan menjadikan layanan kesehatan menjadi komoditi.

"Komersialisasi ini dampaknya luar biasa seperti akses warga terhadap layanan kesehatan kemudian kesenjangan terutama di wilayah 3T," ucapnya.

Baca juga: RUU Kesehatan Diminta Jangan Buru-buru Disahkan, Ini Catatan dari Masyarakat Sipil

Adapun indikasi liberalisasi layanan kesehatan yang dimaksud kemudahan investasi di bidang layanan kesehatan, pendidikan dokter, farmasi yang jelas-jelas mengabaikan kepentingan publik. Kemudian dominasi organisasi profesi disebut sebagai sumber masalah dan kampanye dari RUU Kesehatan selama ini.

"Tapi ironisnya dominasi profesi diambil alih oleh Kementerian Kesehatan, sehingga yang terjadi bukan menyelesaikan masalah tetapi memindahkan masalah," ujar Sri.

"RUU ini juga disebut sebagai percepatan produksi dokter lokal tetapi di RUU ini juga membuka kemudahan masuknya dokter asing dengan pengandaian dokter asing mau kerja di wilayah 3T. Maka yang terjadi layanan kesehatan yang masih menjadi sumber masalah justru terjadi memperburuk adanya ketimpangan pelayanan kesehatan," tambahnya. (Iam/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat