visitaaponce.com

Kalah Teknologi dari Negara Tetangga, Ini Cara IDI Kejar Ketertinggalan

Kalah Teknologi dari Negara Tetangga, Ini Cara IDI Kejar Ketertinggalan
Dokter memeriksa pasien dengan keluahan batuk dan sesak nafas di Poli Batuk dan ISPA di Puskesmas Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.(MI/Usman Iskandar)

Secara teknologi, layanan medis Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Selain itu, kompetensi dokter di Indonesia juga belum merata. Itu merupakan masalah yang dihadapi Indonesia.

Baca juga: Anda Sering Beraktivitas di Luar Ruangan? Jangan Lupa Rawat Kulit Wajah

Berikut adalah paparan dari Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi dikutip dalam wawancara dengan mediaindonesia.com

Selain menjabat Ketua Umum IDI, Anda juga terpilih sebagai ketua Asosiasi Kedokteran se-ASEAN. Bisa dijelaskan tentang organisasi itu?

Medical Association of South East Asian Nations atau MASEAN itu kelompok organisasi profesi dokter di tingkat ASEAN.  Ini satu pola yang sebenarnya menindaklanjuti dari program ASEAN  itu sendiri.  ASEAN punya visi “one community, one vision, one identity”. 

Isu kesehatan apa yang akan dibicarakan di tingkat ASEAN? 

Isunya termasuk di antaranya bagaimana memberi naungan antarprofesi medis di wilayah ASEAN, termasuk juga sharing, baik bentuknya edukasi di tingkat kedokteran, kerja sama riset, pertukaran mahasiswa maupun pertukaran dokter untuk saling belajar. 

Baca juga: Universitas Budi Luhur Ajak Masyarakat Peduli Kesehatan lewat Olahraga

Itu satu konsep yang kita ingin bangun di dalam kelompok komunitas ASEAN ini.  Sekaligus ini juga bisa menjadi pola dasar jika ada permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan dokter, apalagi nanti sudah kalau kita sudah masuk era pasar bebas ASEAN. 

Melihat layanan kesehatan di Indonesia, sejauh mana Anda melihat gap-nya dengan negara ASEAN? Dalam hal apa?

Kalau kita bicara sekarang, gap-nya ya teknologi, lalu kompetensi, juga bahasa. Bicara gap teknologi kita belajar dari Singapura Malaysia, Untuk level teknologi bidang kesehatan, dibandingkan Singapura dan Malaysia, kita masih di bawahnya mereka. Kalau dengan Thailand dan Filipina kita mungkin hampir samalah. 

Artinya, kalau sekarang saya sebagai ketua MASEAN dari IDI, dari Indonesia, maka saya punya kepentingan untuk para dokter di Indonesia bagaimana supaya mereka bisa mengejar ketertinggalan dalam hal gap teknologi. 

Kedua, mengejar ketertinggalan pada gap kompetensi juga.  Jadi penyetaraan kompetensi di tingkat ASEAN untuk dokter-dokter Indonesia ini mesti kita kejar. Kualifikasi internasional di dalam profesi dokter di Indonesia ini kan belum semuanya merata, termasuk untuk spesialis, nah ini harus kita kejar. Kita harus punya standar yang sama. 

Ketiga adalah pembelajaran kita terkait dengan kebijakan regulasi-regulasi di tingkatan ASEAN juga. Paling tidak kita punya sikap saling membutuhkan informasi terkait regulasi.  Nah, inilah tiga hal yang menjadi visi yang saya di dalam kepemimpina MASEAN. 

Banyak orang Indonesia yang memilih berobat keluar negeri, terutama ke negara tetangga, apa sebabnya?

Menjawab pertanyaan ini, mari kita melihat lebih detail lagi masalahnya. Pertama, itu kan sejalan dengan wisata medis, medical tourism. Orang keluar negeri itu tidak serta merta untuk berobat saja, dia juga berwisata. Konsep medical tourism ini dilakukan di semua negara. Dan, kita sangat terlambat sebenarnya dibandingkan Malaysia, Singapura. Indonesia baru melakukannya dalam tiga tahun terakhir. 

Kedua, jumlah 2 juta penduduk kita yang datang ke sana, ya, tentunya mereka itu kelompok ekonominya menengah ke atas. Kita tentu saja tidak bisa menghalangi, mereka yang punya uang untuk ke sana. 

Ketiga, kemampuan pelayanan kesehatan kita, baik dari aspek SDM maupun teknologi, tidak sama di setiap daerah. Maka akhirnya orang akan mencari di tempat lain. 

Kelebihan-kelebihan mereka (negara ASEAN) selain masalah teknologi, yaitu pelayanan yang one stop service. Kita bisa juga melakukan itu,  namun kan masih banyak yang memakai BPJS.  Kalau di sana pasien bayar sendiri atau pakai asuransi.

Keempat, berkaitan masalah harga. Saya bicara Malaysia dulu, harga pengobatan mereka lebih rendah walaupun memeriksanya dengan teknologi, begitupun untuk operasi. Kok bisa? Karena ada kebijakan dari negaranya.  

Di rumah sakit yang membuat program medical tourism untuk warga yang dari luar Malaysia, dia disubsidi pajak, tax fee-nya diberikan.  Sehingga mereka tidak dikenai pajak untuk harga obat. Ini satu faktor mengapa mereka menarik. Indonesia bisa enggak berlaku  tax fee ini? 

Jadi masalah bukan pada kualitas dokter yang lebih bagus, bukan masalah komeptensi, tapi masalah teknologi, masalah one stop service tadi. 

Di sana, pemeriksaan satu hari, tidak ada waiting list. Di sini bukan karena masalah dokternya sehingga  ada waiting list. Masalahnya satu, kemampuan pembiayaan karena menggunakan BPJS. 

Saat ini banyak perguruan tinggi Indonesia yang membuka Fakultas Kedokteran. Ini solusi dalam mengatasi masalah kekurangan jumlah dokter?

Memang Indonesia kekurangan jumlah dokter. Tapi ada juga kekhawatiran jika pembukaan Fakultas Kedokteran terlalu longgar akan berpengaruh pada kualitas.

Ini jadi sorotan kami, bukan hanya sekarang, tapi sejak 5 tahun lalu.  Mengapa? Karena membuka Fakultas Kedokteran itu harus menghitung demand, berapa kebutuhan. Sekarang dengan rasio dokter idealnya 1:1000, ini berarti kita kekurangan sekitar 67.500 dokter. Ini dengan menghitung 275 juta penduduk Indonesia.

Sekarang ada 92 Fakultas Kedokteran yang menghasilkan 12.000 dokter per tahun. Dengan kondisi itu sebenarnya 5 sampai 6 tahun ke depan kekurangan jumlah dokter itu sudah akan bisa terpenuhi. 

Tapi problem kita bukan masalah jumlah produksi saja. Hal yang perlu menjadi perhatian itu soal distribusi, dokter masih banyak terfokus pada daerah-daerah kota besar, sedangkan daerah atau kota-kota kecil terutama di Indonesia Timur, masih kekurangan. Enggak usah jauh-jauh di Jawa saja masih banyak Puskesmas yang tidak ada dokternya. 

Jadi pembukaan fakultas kedokteran tanpa diikuti perhitungan bahwa nanti penempatannya dari mana maka itu tetap akan menjadi sebuah dilema soal distribusi. 

Hal yang harus menjadi perhatian kita juga bahwa memproduksi dokter itu bukan memproduksi tenaga biasa, tapi dia benar-benar punya kemampuan knowledge, kemampuan psikomotor, dan kemampuan etik. Itu nggak bisa memproduksi dokter kayak memproduksi tukang, itu enggak bisa.

Mengapa persoalan kekurangan dokter ini seolah tidak pernah bisa selesai?

Saya ambil contoh begini, ada enggak regulasi yang mengatakan bahwa di Jakarta dengan jumlah dokter yang sudah 20.000 sebenarnya itu jumlah yang sudah terlalu banyak?  Kalau ada analisa soal kebutuhan terkait dengan demand supply-nya, rasio kebutuhan dokter spesialis dengan jumlah penduduk sudah ada, seharusnya kemudian juga ada regulasi yang bisa menjadi dasar bahwa di Jakarta dokternya sudah overload sehingga pemerintah tidak lagi memberikan rekomendasi tentang pembukaan praktik lainnya. 

Tujuannya apa? Supaya kita dorong dokter-dokter itu ke daerah. 

Hal yang kita dorong juga sebenarnya adalah beasiswa bagi putra-putra daerah oleh pemda karena seetelah selesai belajar mereka pasti akan kembali ke daerahnya nanti.  

Mereka perlu disekolahkan juga untuk jadi spesialis untuk nanti kembali ke daerahnya. Itu konsep utama yang sebenarnya kita inginkan supaya bisa diisi kekosongan yang ada di wilayah-wilayah terpencil tersebut. 

Kita negara yang sering dilanda bencana. Soal manajemen pelayanan kesehatan, apa yang masih harus diperbaiki?

Kita punya tim bencana banyak, relawan bencana juga banyak dan masyarakat Indonesia apalagi dokter, mereka itu pasti siap dan mau diturunkan ke lokasi bencana untuk membantu. Tapi yang memang harus selalu ditingkatkan dan harus selalu kita evaluasi itu adalah koordinasinya.

Tapi ada perbedaan manajemen saat saya dulu turun di Aceh kemudian ada gempa di Yogyakarta dan terakhir di Palu. Saat gempa di Cianjur tahun lalu ada perbedaan yang luar biasa dalam hal koordinasi.  Apa itu? Minimal pada saat setiap tim mau datang ke daerah bencana, dia akan lapor dulu, ada posko pelaporan. Dengan begitu, bisa dipetakan, di mana wilayah prioritas. 

Koordinasi dan komunikasi yang baik akan membuat penanganan bencana lebih bagus. Itu yang paling penting dilakukan, kuncinya di situ. (Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat