visitaaponce.com

Puluhan Bahasa Daerah Terancam Punah Karena Minim Digunakan

Puluhan Bahasa Daerah Terancam Punah Karena Minim Digunakan
Salah seorang peserta memperhatikan aksara Jawa Kuno yang terpahat di bagian bawah Arca Joko Dolog.(Antara)

INDONESIA saat ini memiliki bahasa daerah terbanyak kedua di dunia dengan total 718 bahasa dengan kondisi vitalitas (kemampuan bertahan hidup) berbeda-beda. Namun demikian, puluhan bahasa terancam punah karena jumlah penuturnya terus berkurang. 

Hal itu mengemuk dalam Acara Webinar bertajuk “Dari Nusa Tenggara Timur Indonesia: Pengalaman Pendokumentasian Bahasa Terancam Punah” pada Jum’at (10/10).

Di tengah ancaman kepunahan berbagai bahasa daerah di Indonesia, para peneliti bahasa dan sastra Indonesia terus gencar melakukan pendokumentasian bahasa. Dalam hal ini, dokumentasi bahasa tidak hanya berperan sebagai repositori data dalam penelitian ilmiah, namun dapat berfungsi dalam melestarikan dan mempertahankan eksistensi bahasa.

Baca juga : Festival Tunas Bahasa Ibu Diharapkan Bisa Revitalisasi Bahasa Daerah

“Esensi dokumentasi bahasa adalah menciptakan atau memproduksi rekaman atau dokumen kebahasaan yang bertahan selama mungkin yang tidak akan hangus dan hilang oleh berbagai kondisi. Meski telah berbeda generasi, kebahasaan itu dapat bisa diakses hingga kapanpun,” ungkap Peneliti BRIN dan Dosen dari Universitas Nusa Cendana NTT Jermy I. Balukh. 

Baca juga : Konsistensi Pelestarian Bahasa Daerah Perkokoh Akar Budaya Bangsa

Jermy mengatakan bahwa provinsi-provinsi yang terletak di Indonesia bagian Timur menjadi yang paling terdampak dan rentan terhadap kepunahan bahasa daerah. Khususnya Nusa Tenggara Timur yang saat ini hanya memiliki penutur dengan jumlah sedikit sekitar 1.000 hingga 5.000 orang.

“Sayangnya, mayoritas peneliti bahasa NTT dalam bentuk dokumentasi dan deskripsi lebih banyak dilakukan oleh orang luar NTT. Padahal, NTT memiliki sekitar 72 bahasa (yang teradata) sebagai sumber daya intelektual yang sangat kaya dan berbagai keunikan bahasa dan budaya,” ungkapnya.

Menurut Jermy, jikapun ada peneliti/dosen di NTT yang melakukan penelitian bahasa daerah, hasilnya lebih bersifat jangka pendek dalam bentuk publikasi ilmiah tidak berfokus pada basis data untuk keberlanjutan penelitian jangka panjang.

“Pada umumnya penelitian di Indonesia sifatnya jangka pendek misalnya menulis makalah lalu setelah menulis maka selesailah penelitiannya. Jadi tidak berkelanjutan dan penelitian itu tidak bersifat jangka panjang kedepan. Padahal, para peneliti lokal sangat berpotensi, tapi minim dukungan, kesempatan, dan kapasitas,” ungkapnya.

Lebih lanjut Jermy menjelaskan 72 bahasa daerah di NTT menyumbang sekitar 10 persen dari total 718 bahasa daerah di Indonesia. Artinya, NTT menjadi penyumbang bahasa daerah terbanyak ketiga. Disebutkan ada empat bahasa daerah di NTT yang terancam sangat punah.

“Bahasa yang dimaksud Beilel, Sar, Kafoa, dan Nedebang. Semuanya berada di Kabupaten Alor. Jika benar-benar didalami, mungkin masih banyak bahasa daerah yang terancam punah, tapi belum teridentifikasi. Penyebabnya adalah jumlah penutur yang berkurang akibat migrasi masyarakat dari luar atau kawin campur yang membuat anak tidak menguasai bahasa kedua orangtuanya,” ungkapnya.

Jermy menjelaskan bahwa upaya revitalisasi bahasa di dunia mayoritas dilakukan dengan dokumentasi yang baik. Sekitar 96% penyelamatan bahasa dunia dilakukan lewat dokumentasi setelah itu, bahan-bahan itu diterapkan dalam kelas-kelas pendidikan formal.

“Kita harus mulai menciptakan data kebangsaan yang bisa digunakan oleh siapapun karena itu khususnya yang direkomendasikan dalam dokumentasi bahasa. Kita harus membuat rekaman atau dokumen bersifat video, audio, anotasi, terjemahan lalu mendistribusikan ke masyarakat,” ungkapnya.

Saat mendokumentasikan bahasa, Jermy kerap mempersiapkan berbagai alat bantu guna mempermudah aktivitas di lapangan. Selain itu, elemen penting dalam dokumentasi bahasa adalah harus berbasis partisipatif yaitu melibatkan berbagai pemangku kepentingan setempat terutama masyarakat setempat.

“Sebelum ke lapangan, tim kerja perlu mempersiapkan jadwal kegiatan, alat dan target rekaman yang bisa dikumpulkan. Peneliti juga harus menghitung berapa data yang bisa ditranskrip, dialokasikan dan terjemahkan. Pada tahun 2018-2019 kami punya tim bahasa dari Amerika dan NTT dengan melibatkan tokoh adat, toko agama, kepala suku, dan masyarakat lintas usia dan profesi,” jelasnya.

Jermy mengakui selama bertahun-tahun mendokumentasikan 15 bahasa di NTT, ada berbagai tantangan yang dihadapi baik secara persiapan internal maupun para narasumber di lapangan. Mulai dari masyarakat yang masih berorientasi material hingga sulitnya mencari narasumber.

“Terkadang kita memerlukan narasumber dengan artikulasi yang baik sehingga ada syarat boleh tua tapi yang penting giginya lengkap. Supaya ketika bicara, kita memahami jelas artikulasinya, namun sampai di lapangan terkadang ada yang pengetahuan bahasa budayanya sangat baik tapi juga terkadang sulit menemukannya,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra Herry Jogaswara mengatakan bahwa hingga saat ini, BRIN masih mencari seperti apa format yang paling efektif dalam pendokumentasian bahasa.

“Pernah ada ide awal tentang pusat kolaborasi riset tapi ternyata syaratnya itu tidak mudah. Lalu dicoba yang sedang digagas kolaborasi riset internasional sebagai format yang baru, dimana ada kegiatan riset yang dipadukan dengan kegiatan pendidikan. Ekspedisi akan dilakukan dalam waktu dekat,” ungkapnya. (Z-8)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat